KETERBACAAN

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

KETERBACAAN

Oleh

Drs. Salimudin,M.Pd

Dosen PBSID UPS Tegal

Pendahuluan

Penyusunan materi ajar membaca seyogyanya dikaitkan dengan  fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa juga berfungsi sebagai  transaksional yang akan mengungkapkan isi, dan fungsi bahasa sebagai interaksional yang mengungkapkan hubungan sosial (Brown dan Yule 1996). Hal ini, sepadan dengan fungsi representatifekspresif Buhler (1934), referensial-emotif Jakobson (1960), ideosional-interpersonal Halliday (1970), dan deskriftif-sosio-ekpresif Lyons (1977). Menyusun materi ajar membaca menyangkut penggunaan bahasa secara tertulis.   

            Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yakni penggunaan kata dan kalimat. Bila kita kaitkan dengan usia pembaca, dua hal mendasar tersebut harus kita perhatikan. Hasil penelitian Sommerset (1990) pada sejumlah SD di seluruh Indonesia mengenai laju putus sekolah paling banyak terdapat pada kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI) dan yang tinggal di kelas berada pada rendah (kelas I, II dan III). Sommerset (1990) mencoba mengamsusikan tingginya pengulangan yang terjadi pada kelas rendah yang diikuti tingginya laju putus sekolah pada kelas tinggi ada kaitannya dengan kenyataan  bahwa sebagian besar siswa sekolah dasar pada kelas rendah itu harus belajar bahasa Indonesia. Kemudian laju tinggal di kelas dan putus sekolah itu terjadi pada awal tahun ajaran disebabkan oleh peralihan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Hal tersebut juga diamati oleh Van Klinken (1991) pada sejumlah sekolah dasar di Salatiga bahwa prosentasi siswa yang tinggal di kelas rendah hampir dua kali lebih tinggi dari pada angka-angka yang dicatat Sommerset (1990) disebabkan belum mampu untuk membaca dan menulis. Untuk itu, maka perlu adanya pembenahan pada materi ajar bahasa Indonesia khususnya materi ajar membaca di sekolah dasar. Hasil penelitian dan pengamatan tersebut di atas artinya, apakah kosakata tersebut sudah relevan dengan tingkat usia mereka dan apakah kalimat-kalimat yang disusun memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia mereka. Kata akan membangun kalimat, kalimat akan membangun paragraf, dan paragraf membangun karangan atau wacana.

            Pemahaman atas kata saja tidak mencukupi bagi seseorang dalam membaca karena kata-kata yang diwujudkan dalam tulisan tidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan. Hubungan itu ditandai oleh terbentuknya kalimat. Sekalipun sebuah kalimat sudah menyampaikan makna tertentu, kebanyakan kalimat dalam bahasa tulis masih harus dijelaskan oleh kalimat-kalimat lainnya,  kemudian membentuk sebuah paragraf. Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari satu paragraf (Rusyana 1984). Setiap paragraf membicarakan pokok paragraf. Antara pokok paragraf dengan yang lain terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf tersebut ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan bagian dari pokok yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan itu, yaitu isi karangan yang dibicarakan dalam semua paragraf pada karangan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, yakni penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan.

          Di samping itu, bila ditelusuri lebih lanjut, akan tampak pula bahwa bacaan yang satu dengan bacaan yang lainnya memiliki susunan yang berbeda. Menurut Rusyana (1984) terdapat bacaan atau karangan berjenis kisahan, deskripsi, percakapan, bahasan, dan alasan. Dalam bacaan kisahan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar. Dari segi keterjadiannya dalam ruang dan waktu, kisahan dibedakan atas yang faktual dan rekaan. Dalam bacaan terdapat lukisan tentang penginderaan, percontohan, dan penilaian terdapat suatu pokok. Dalam bacaan alasan terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenis-jenis karangan itu dalam penggunaannya tidaklah terpisah benar-benar sebab adakalanya digunakan sekaligus. Akan tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita ataukah bahasan, atau jenis lainnya. Bacaan dapat pula dibedakan dari susunan barisnya, lebih jauh dari susunan bunyi dan iramanya, menjadi prosa dan puisi.

          Menurut fungsinya materi ajar membaca dapat dibedakan atas materi ajar membaca yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan  materi ajar membaca yang digunakan untuk menyampaikan reka cipta (Rusyana 1984). Biasanya bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, alasan, deskripsi faktual, dan kisahan faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan dan kisahan rekaan dalam susunan puisi.

Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Dalam bacaan informasi, lebih-lebih yang berupa karangan keilmuan, bahasa digunakan secara informatif seperti tampak pada penggunaan kata yang referensial atau denotatif, yaitu merujuk langsung pada yang dimaksud, lebih-lebih yang berupa istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abstrak. Sedangkan pada bacaan rekaan, lebih-lebih dalam sastra yang berupa puisi. Kata-kata digunakan untuk ekspresi, bersifat konotatif sehingga mengandung arti rangkap.Sehubungan dengan bacaan di sekolah dasar, materi ajar membaca dapat dibedakan ke dalam bacaan bahasa yang berisi pelajaran, dan bacaan lainnya yang berupa bacaan kisahan, drama, dan puisi.

          Untuk itu, materi ajar harus mendapat perhatian, mengingat fungsinya sangat strategis dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasar berkenaan dengan materi ajar membaca, yakni (1) komponen kebahasaan, (2) komponen komposisi karangan, dan (3) komponen keterbacaan.

    

A.Komponen Kebahasaan                                                                                                                                                                              

          Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi  dengan bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia khususnya membaca diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Dengan bahasa tulis memungkinkan seseorang memisah-misahkan kata dengan jelas, memanipulasika urutannya dan mengembangkan penalaran (Goody 1977 dalam Brown dan Yuke 1996).  Berkomunikasi adalah berwacana, baik secara lisan maupun secara tertulis, yaitu menyampaikan pokok gagasan yang dijabarkan dengan satuan bahasa berdasarkan konteks tertentu. Menurut Rustono (1998) wacana adalah satuan kebahasan yang unsurnya terlengkap yang tersusun dari kalimat atau kalimat-kalimat baik lisan maupun tulis, yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun manifestasi fonetisnya.  Berwacana dalam arti menyampaikan gagasan bersifat produktif, sedangkan berwacana dalam arti memahami  gagasan bersifat reseptif (Ekowardono 2006). Salah satu berwacana yang bersifat reseptif adalah membaca.

            Penyusunan materi ajar membaca akan berkaitan dengan pemakaian bahasa secara tertulis. Paling tidak ada hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yaitu penggunaan kata dan kalimat. Apabila dihubungkan dengan dengan tingkat usia pembaca, dua hal tersebut harus diperhatikan, artinya apakah kosakata dalam materi ajar membaca tersebut sudah relevan dengan tingkat usia peserta didik serta kalimat yang digunakan mempunyai tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.

1. Kosakata

          Kosakata dalam pembelajaran berwacana reseptif yaitu membaca berfungsi membantu pemahaman, sedangkan dalam pembelajaran berwacana produktif dalam menulis berfungsi membantu memproduksi wacana (Ekowardono 2006). Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun menjadi kalimat, sedangkan kalimat-kalimat sebagai wujud satuan-satuan gagasan disusun menjadi wacana. Kosakata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang  atau suatu bahasa (Kridalaksanan 1993).  Lado (1964) membagi kosakata menjadi kosakata mudah, kosakata sedang, dan kosakata sulit. Kosakata yang mudah dipahami adalah kosakata  yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama. Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara tekstual Kosakata sulit adalah kosakata bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa itu,baik bentuk maupun artinya.

           Menurut Suparno dan Yunus (2006) mengklasifikasikan kosakata menjadi dua yaitu kosakata aktif dan kosakata pasif. Kosakata aktif adalah kosakata untuk penguasaan bahasa secara produktif yang digunakan untuk menghasilkan bahasa  dalam kegiatan berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Sedangkan kosakata pasif adalah kosakata yang hanya dipahami tetapi belum digunakan secara produktif. Kosakata juga dapat dibagi menjadi kosakata khusus dan kosakata umum. Kosakata umum artinya kosakata yang yang bukan merupakan istilah-istilah teknis atau yang sering dijumpai dalam berbagai bidang keilmuaan atau kata yang sudah meluas ruang lingkup pemakaianya. Kosakata khusus adalah kosakata tertentu yang sempit, dan terbatas ruang lingkupnya. Setiap bahasa memiliki kosakata dasar yang tidak mudah berubah, atau sedikit sekali kemungkinannya diambil dari bahasa lain.

           Tarigan (1993) menyatakan yang termasuk kosakata dasar adalah (1) istilah kekerabatan, (2) nama-nama bagian tubuh, (3) kata ganti, (4) kata bilangan pokok, (5) kata kerja pokok, (6) kata keadaan pokok, (7) kata-kata benda universal.  Lado (1964) membagi kosakata menjadi kosakata mudah, kosakata sedang, dan kosakata sulit. Kosakata yang mudah dipahami adalah kosakata  yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama.Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara tekstual. Kosakata sulit adalah kosakata  bahasa kedua  yang berbeda dengan bahsa itu, baik bentuk maupun artinya. Kosakata yang pertama  kali diperoleh anak adalah kosa kata dengar. Menurut Zuhdi (1997) kebanyakan anak dapat menanggapi secara benar kata-kata yang diucapkan  oleh orang lain, sebelum mereka menggunakan kata-kata tersebut untuk berbicara. Sedangkan kosakata baca baru diperoleh anak manakala mereka mandapat pengkondisian.  

          Hasil penelitian Dale dan Chall (1984) mengenai kosakata anak-anak kota menunjukkan bahwa tiga perempat dari mereka telah memiliki kurang lebih lebih 1500 kata pada pertengahan tahun pertama memasuki sekolah (kelas I) Kemudian Dale dan Chall mencatat bahwa kata-kata  yang diketahui oleh anak-anak kelas I adalah (1) kosakata yang menyatakan rasa, (2) kosakata yang digunakan sehari-hari, (3) kosakata yang muncul hampir pada kalimat, dan (4) kosakata yang yang menyebut sesuatu hal yang dialami dan dihayati anak. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas  dapat dikemukakan bahwa pemilihan kosakata memiliki peranan  yang amat strategis dalam menyusun materi ajar membaca. Karena sebuah kata akan mendukung terbentuknya kalimat efektif apabila kata itu memiliki kesanggupan untuk mewadahi gagasan itu dengan tepat dan memiliki kesanggupan untuk menimbulkan kembali gagasan itu dengan tepat.

          Dalam kaitan itu, Keraf (1983) menyatakan bahwa pemilihan dan pendayagunaan kata mengacu pada kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembaca. Kesanggupan sebagaimana terurai di atas dapat dipenuhi dengan dua kaidah penggunaan kata, yaitu kaidah ketepatan dan kaidah kecocokkan. Kaidah ketepatan diukur dari gagasan yang akan disampaikan dapat diterima partisipan. Kaidah kecocokkan diukur dari kesesuaian kata dalam konteks penggunaan sesuai dengan kelaziman penggunaan kata, baik konteks kalimat maupun konteks luar kalimat.

 

2.Kalimat

            Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun menjadi kalimat, sedangkan kalimat-kalimat sebagai wujud satuan-satuan gagasan disusun menjadi wacana. Masalah yang berhubungan dengan pengaruh struktur kalimat terhadap proses membaca ada dalam bidang yang sangat khusus, yakni keterbacaan (Harjasujana 1997). Berbicara tentang keterbacaan, setiap penyusun wacana atau buku bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, harus mendasarkan diri pada orientasi teoritis, yakni masalah struktur kalimat. Di samping itu, juga masalah kosakata, seperti dikemukakan oleh Rusyana (1984). Hal yang sama dikemukakan oleh Sakri (1993) bahwa keterbacaan (readability) bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tidak umum lebih sulit dipahami daripada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya, khususnya pembaca dengan usia tertentu. Tentang hal ini telah dijelaskan pada penjelasan tentang kosakata baca. Demikian pula, bangun kalimat yang panjang dan kompleks akan menyulitkan pembaca yang tingkat perkembangan usianya berbeda.

            Uraian di atas mengimplikasikan bahwa penyusunan wacana, sekalipun menurut pengarang sudah sesuai dengan perkembangan usia anak, namun tanpa mengetahui penguasaan kosakata dan kalimat yang digunakan dalam suatu wacana yang dikenal mereka, maka wacana tersebut akan gagal dalam hal keterbacaannya. Pengukuran terhadap penguasaan kosakata dan kalimat dalam bacaan wacana oleh anak amat penting dilakukan sebagai dasar penyusunan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi anak-anak sesuai dengan perkembangan usianya. Hal ini disebabkan oleh bahwa membaca berarti memahami isi (deep structure) bacaan. Sarana pemahaman tersebut adalah struktur luar (surface structure).

           Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa panjang kalimat sebagai unsur utama yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam kegiatan membaca (Harjasujana 1997). Oleh karenanya, sudah sejak tahun 1921, panjang kalimat sebagai alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, dan hampir selalu dijadikan unsur utama dalam formula-formula keterbacaan. Kalimat-kalimat yang kompleks pada umumnya panjang-panjang. Korelasi antara kompleksitas dan panjang kalimat cukup tinggi, yakni sebesar 0,775 (Harjasujana 1997).

           Hingga kini belum ada penelitian tentang panjang kalimat yang cocok untuk anak usia sekolah dasar di Indonesia. Walau demikian, penelitian tentang ini sebenarnya sudah dilakukan Rudolf Flesch (1975) bagi pentutur bahasa Inggris. hasilnya berupa skala. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan yang dibuat Rudolf Flesch (1974) dalah sebagai berikut:

         Tabel   1  Keterbacaan menurut Rudolf Flesch

Tingkat Kesulitan

Panjang kalimat

Sangat mudah

8     kata

Mudah

11   kata

Sedang

14   kata

Standar

17   kata

Agak sulit

21   kata

Sulit

25   kata

Sulit sekali

29   kata

          

             Wacana yang panjang kalimatnya terdiri dari 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4 sekolah dasar, wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8 s.d. 11 kata sesuai untuk siswa kelas 5 sekolah dasar, wacana yang panjang kalimatnya terdiri dari  11 s.d.14 kata diperkirakan sesuai untuk siswa kelas 6 sekolah dasar. wacana yang panjang kalimatnya  antara 14 s.d 17 kata sesuai untuk siswa kelas 7 dan 8 SMP, dan wacana yang panjang kalimatnya antara 17 s.d 21 kata sesuai untuk siswa SMA kemudian wacana yang panjang kalimatnya antara 24 s.d. 29 kata cocok untuk siswa SMA dan mahasiswa. Sementara itu, penelitian terhadap penutur berbahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wahjawidodo (1985) dengan subjeknya siswa SD. Penelitiannya menunjukan bahwa kalimat yang maknanya mudah dipahami murid ialah kalimat yang terdiri atas paling tidak 10 kata untuk kelas 2, 15 kata untuk kelas 4, dan 20 kata untuk kelas 6, dengan catatan kata-kata yang digunakan harus yang mudah.

            Skala antara yang dikemukakan Flesch dan Wahjawidodo (1985) Tampak berbeda.  Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4, wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5, wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6, sedangkan dalam skala Wahjawidodo, siswa kelas 4 panjangnya paling tidak 10 kata, lebih panjang dari skala Flesch yang hanya 8 kata; siswa kelas 6 paling banyak 20 kata, lebih panjang dari skala Flesch yang hanya 11-14 kata. Sementara itu, untuk siswa SMP kelas 1 dan 2 dalam skala Flesch panjang kalimatnya antara 14 -17 kata.

          Menurut susunan kalimatnya, kalimat tunggal lebih mudah dipahami maknanya atau maksudnya daripada kalimat majemuk. Hal ini disebabkan kalimat majemuk lebih rumit daripada kalimat tunggal.

B.Komponen Komposisi Karangan

          Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun akan menjadi sebuah kalimat.  Kalimat yang pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali kekalimat pertama dan seterusnya (Alwi, Dardjowidjojo, dan Moeliono 2000). Beberapa kalimat yang mengandung ide gagasan dalam konteks tertentu akan membangun sebuah  paragraf atau wacana dasar, dan beberapa paragraf dengan konteks tertentu akan membangun sebuah karangan atau wacana luas. Dengan pemahaman kata saja tidak cukup karena kata-kata yang diwujudkan dalam tulisan tidak terdiri sendiri, melainkan saling berhubungan. Hubungan itu ditandai dengan ditandai oleh terbentuknya kalimat sekalipun sebuah kalimat sudah menyampaikan maksud tertentu, kebanyakan kalimat dalam bahasa tulis masih dijelaskan oleh kalimat-kalimat lainnya, yang kemudian membentuk sebuah paragraf.                                                                                                             

               Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari satu paragraf (Rusyana 1984). Setiap paragraf membicarakan  pokok paragraf. Antara pokok paragraf yang satu dengan yang lainnya  terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf itu ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan  bagian yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan, yaitu isi karangan yang dibicarakan  dalam semua paragraf pada karangan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut  dapat ditarik kesimpulan  bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan.

               Apabila dianalisis lebih lanjut akan terlihat pula bahwa bacaan satu dengan bacaan  yang  lain memiliki susunan yang berlainan. Keraf (1984) terdapat bacaan atau karangan yang berjenis narasi, deskrpisi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi. Bacaan narasi atau paparan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar kemudian dari segi kejadiannya dalam ruang dan waktu, narasi dibedakan menjadi bacaan yang faktual dan bacaan rekaan. Bacaan deskripsi terdapat lukisan tentang penginderaan, pikiran, dan perasaan, dan khayalan. Deskripsi pun dapat dibedakan  menjadi yang faktual dan rekaan. Menurut Suparno (2006) bacaan eksposisi adalah paparan yang dilengkapi dengan data-data kesaksian seperti grafik, gambar, dan statistik dengan tujuan untuk memperjelas masalah yang akan diinformasikan. Bacaan persuasi akan berurusan dengan masalah mempengaruhi orang lain lewat bahasa, sehingga kalimat-kalimat yang digunakan mengandung daya bujuk, daya ajak, ataupun daya himbau. Bacaan argumentasi  terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenis-jenis karangan tersebut dalam penggunaannya tidaklah terpisah-pisah sebab adakalanya digunakan secara sekaligus.Tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita atau bahasan. Bacaan juga dapat dibedakan dari susunan barisnya, susunan bunyi dan iramanya, yang dinamakan prosa dan puisi.

             Menurut fungsinya bacaan dapat dibedakan atas bacaan yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan bacaan yang digunakan  untuk menyampaian reka cipta. Bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, argumentasi, deskripsi faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan,dan kisahan rekaan dalam susunan puisi.Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam menggunakan bahasa. Dalam bacaan informasi yang berupa karangan keilmuan, bahasa yang digunkan secara informatif menggunakan kata-kata yang referensial atau denotatif. Yaitu dengan merujuk langsung pada yang dimaksud, terutama dalam penggunaan istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abtraks. Sedangkan pada bacaan rekaan lebih-lebih dalam bidang kesusastraan yang berupa puisi, kata-kata yang digunakan  untuk mengungkapkan ekspresi diri bersifat konotatif sehingga mengandung makna yang ganda.

            Bacaan yang ada di sekolah dasar, dapat digolongkan ke dalam bahasan yang berisi pelajaran, khususnya buku pelajaran dan bacaan lainnya yang berupa bacaan narasi, depkrisi, eksposisi, persuasi dan argumentasi. Untuk itu, dalam menyusun materi ajar membaca harus memperhatikan komposisi karangan  mengingat fungsi materi ajar sangat strategis dalam proses pembelajaran untuk menentukan ketercapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.

 

D. Komponen Keterbacaan

              Keterbacaan merupakan pengukuran tingkat kesulitan  sebuah  bacaan atau wacana secara obyektif. Menurut Harjasujana (1988) tingkat keterbacaan itu biasanya dinyatakan dengan peringkat kelas. Dengan demikian, setelah mengukur tingkat kesulitan sebuah bacaan atau wacana maka dapat ditentukan tentang kesesuaian materi bacaan untuk peringkat tertentu, misal peringkat enam, peringkat lima, peringkat empat dan seterusnya. Tingkat bacaan materi bacaan harus disesuaiakan dengan tingkat kemampuan pembaca. Dengan jalan mencocokkan tingkat keterbacaan dengan tingkat kemampuan sehingga pembaca tidak mengalami frustasi dan minat bacanya akan berkembang terus. Berdasarkan penelitian terakhir menurut Harjasujana (1988) ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat keterbacaan wacana (1) kata-kata yang sukar dan banyak sukunya, dan (2) panjang kalimat-kalimat yang ada pada wacana tersebut. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-katanya, semakin sulit bahan bacaannya. Sebaliknya, jika kalimat-kalimat dan kata-kata dalam sebuah wacana pendek-pendek, maka wacana itu tergolong pada wacana yang mudah.         

         Dalam penyunanan materi ajar membaca penyusun dapat menurunkan dan dapat menambahkan tingkat keterbacaan wacana bacaan jika terlalu tinggi atau terlalu rendah tingkat keterbacaannya. Dengan demikian pemahaman pembaca akan meningkat dan kepercayaan terhadap dirinya pun akan menjadi lebih baik sehingga minat bacanya akan meningkat dan bertambah. Tingkat keterbacaan materi bacaan harus menjadi perhatian utama dalam menyususn materi ajar. Sebab pembaca diharapkan dapat menyerap informasi dan memahami materi bacaan yang selanjutnya dapat mengembangkan keterampilan-kerampilan baru setelah selesai membacac sebuah bacaan atau wacana.                     

           Dale dan Chall dalam Gilliland (1976) mengemukakan keterbacaan adalah sejumlah unsur yang ada dalam teks yang berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai oleh kelompok pembaca. Keberhasilan ini meliputi keluasan materi yang dapat dipahami, membaca dengan kecepatan optimal, dan terasa tertarik dengan teks tersebut.  Definisi  Dale dan Chall ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh McLauughin dalam Gilliliand (1976) yang lebih menekankan pada keterbacaan pada karakteristik pembaca dan kemenarikan teks. Artinya, keterbacaan harus didasarkan pada karakteristik pembaca berdasarkan asumsi bahwa pembaca akan melanjutkan membaca jika ia paham dan tertarik tentang hal yang dibacanya. Berdasarkan pendapat tersebut Gilliand (1972) kemudian merumuskan keterbacaan sebagai pencocokan kemampuan pemahaman sesorang terhadap materi wacana tulisan yang dibacanya pada tingkat tertentu (Gilliand, 1972, Mc Neill, et al 1980).

          Gilliliand (1972) juga membuat simpulan bahwa ada tiga ide utama yang terkait dengan keterbacaan yaitu (1) kemudahan, (b) kemenarikan, (c) keterpahaman. Yang pertama berkaitan dengan tata tulis yaitu menggunaan huruf seperti besar huruf dan lebar spasi. Dari batasan ini keterbacaan dapat diukur dari kecepatan dalam mengenal kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, yang kesemuanya sangat berhubungan erat dengan keterampilan membaca dan kejelasan ukuran. Kedua berkaitan dengan minat baca, kepadatan ide pada isi bacaan, dan keindahan gaya tulisan pada bacaan. Ketiga sangat berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjangnya kata dan panjangnya kalimat, dan susunan paragraf  dalam bacaan. Dengan alasan teoretis, teknis, dan praktis batasan ketiga ini yang menjadi  dasar dalam penelitian ini.  Wacana dikategorikan mudah apabila mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi (Depdikbud 1985). Artinya, wacana tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh sebagian besar pembaca. Wacana itu disebut sulit, jika mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. Artinya, wacana tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian kecil pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dale, E dan J.S. Chall. “A Formula for Predicting Readability” dalam www.timetabler.com.

Ekowardoyo, Karno. B. 2008. Pedoman Penyusunan Buku Ajar Bahasa Jawa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peran Bahasa Indonesia Dalam Pencerdasan Anak Bangsa. UNNES.Semarang

Flesch, R. 1975. The Art Readability Writing. New York: Harper & Row.

Fry, E. B. 1977. Fry’s Readibility Graph: Clarification, Validity, and Extention to Level 17. Journal of Reading. Newmark, Del: International Reading Association.

Edward. 1978. Teaching Faster Reading. Cambridge: CUP.

Gilliland, J. 1976. Readabbility, London : Horder and Stoughton

Harjasujana, A.S. 1997. Tata Bahasa Dalam Membaca: Pengaruh Panjang Kalimat dan Kekomplekan Kalimat terhadap Kecepatan Efektif Membaca. Makalah. Disajikan pada Temu Ilmiah Ilmu-ilmu Sastra PPs Unpad di Hotel Panghegar, 22 Desembar 1997.

Keraf, Gorys. 1989, Komposisi, Flores: Nusa Indah

Pengembangan BahanAjar.http://www.docstoc.com/does/6390817/Pengembangan Materi Ajar.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Pengajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah Dasar. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia di Semarang.

Rusyana, Y, 1984. Meningkatkan Minat dan Menanamkan Kebiasaan Baca Tulis pada Anak-anak, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan pendidikan. Bandung: Dipenogoro.

Rustono. 1998. Implikatur Percakapan Sebagai Penunjang Pengungkapan Humor Di Dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia. Disertasi, Universitas Indonesia.

Sakri, A. 1993. Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: ITB Bandung.

Suparno.,Mohamad Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.

Membaca

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-ansi-language:IN;}

IDENTITAS  PERKULIAHAN

 

Kelompok Mata Kuliah                      : Pengajaran 

Nama Mata Kuliah                              : Keterampilan Membaca

Semester/Prodi                             : V/PBSID

Bobot                                          : 2 SKS

Prasyarat                                     : Lulus MK Keterampilan Membaca

Dosen Pengampu                         : Drs. Salimudin, M.Pd.

 

STANDAR KOMPETENSI

            Mahasiswa dapat memahami pengertian, prinsip-prinsip, tujuan, pendekatan, strategi,  teknik, metode dan  model-model  membaca.

STRATEGI  PERKULIAHAN

            Pendekatan pembelajaran yang dipergunakan dalam perkuliahan ini adalah pendekatan kontekstual yang diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran komunikatif dengan empertimbangkan pelaksanaan komponen konstruktivisme, inquiry, learning komunity, modeling, projek, dan portofolio secara proporsional, dan sesuai dengan karakter materi perkuliahan. Fokus perkuliahan pada praktik menganalisis buku teks dan menyusun bahan ajar sebagai dasar penyusunan buku teks.  Mahasiswa dilibatkan secara aktif sejak perumusan kontrak kuliah, kontrak belajar, penentuan strategi perkuliahan, dan proses penilaian dengan mengacu pada model pembelajaran andragogi (untuk orang dewasa). 

            Mahasiswa memiliki kebebasan dalam menentukan irama perkembangan dan kecepatan belajar sesuai dengan kemampuannya, baik secara kelompok kecil maupun individual. Fasilitator (Dosen) akan menyediakan berbagai sumber dan alternatif tugas yang  bobot dan kualitasnya berjenjang. Setiap jenis proyek disertai dengan langkah-langkah pembimbingan dan instrumen penilaian yang dapat digunakan secara terbuka. Mahasiswa dilibatkan secara penuh baik dalam merancang projek sampai penentuan kualitasnya dengan tetap berpegang pada prinsip pembelajaran orang dewasa.

 

 

SISTEM  PENILAIAN

Nilai akhir diambil dari unsur: (1 X UH) + (2 X UTS) + (3 X UAS)

                                                                                         6

               UH                  : Berupa aktivitas perkuliahan yang meliputi tugas harian, aktivitas

                                         perkuliahan,  diskusi, kehadiran.

UTS                 : Ujian Tengah Semester paling lambat dilaksanakan pada

                          pertemuan ke-7. Tes tertulis berbentuk esai dan tugas terstruktur

                          kelompok kecil

UAS                  Tugas akhir berupa projek penyusunan makalah secara individual. Projek diberikan pada akhir perkuliahan dan dikumpulkan paling lambat pada waktu Ujian Akhir Semester. Target belajar tuntas klasikal adalah 75% mahasiswa mendapat nilai B dan secara individual minimal mahasiswa mendapat skor 65 (C).

 


 

BAB I

HAKIKAT MEMBACA

 

 

A. KOMPETENSI DASAR

     Memahami hakikat membaca

 

B. INDIKATOR

     1. Menjelaskan pengertian membaca

     2. Menjelaskan manfaat membaca

     3. Menjelaskan tujuan membaca

     4. Prinsip-prinsip membaca

 

C.PENGEMBANGAN  MATERI

1. Pengertian Membaca

Membaca adalah suatu proses melisankan lambang yang tertulis. Dari sudut linguistik membaca adalah proses penyandian dan pembacaan sandi, berlainan dengan berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandian. Sebuah aspek pembacaan sandi adalah menghubungkan kata-kata tulis dengan makna bahasa lisan yang mencakup pengubahan tulisan menjadi bunyi yang bermakna.

Menurut Hodgson dalam Tarigan (1993:7) membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca  untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis  melalui media bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut  agar kelompok kata yang merupakan satu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan  sekilas dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal tersebut tidak terpenuhi, maka pesan tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca tidak terlaksana dengan baik.

Menurut Anderson dalam Tarigan (1979:8) menyatakan membaca dapat diartikan sebagai suatu metode yang dipergunakan  untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan kadang-kadang dengan orang lain yaitu mengomunikasikan makna yang yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis.. Ada anggapan lain bahwa membaca dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk melihat lambang tertulis serta mengubah lambang-lambang tertulis tersebut melalui tonik (metode pengajaran membaca, ucapan ejaan berdasarkan interpretasi fonetik terhadap ejaan biasa) menuju membaca lisan (oral reading). Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam yang tersurat, melihat pikiran yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis.

Sedangkan Klein,dkk (1996) mengemukakan bahwa  definisi membaca  mencakup (1) membaca  adalah suatu proses, (2) membaca adalah strategis,dan  (3) membaca adalah interaktif. Membaca merupakan suatu proses dimaksudkan informasi dari teks dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk makna. Membaca juga merupakan suatu strategis.Pembaca yang efektif menggunakan berbagai strategi membaca yang sesuai  dengan teks dan konteks dalam ranggka menggkontruk makna ketika membaca.Strategi yang digunakan brvariasi sesuai dengan jenis dan tujuuan membaca. Membaca adalah interaktif. Keterlibatan  pembaca pada teks  tergantung pada konteks.  Orang yang senang membaca suatu teks yang bermanfaat akan menemui beberapa tujuan yang dicapainya, teks yang dibaca oleh seseorang harus mudah dipahami sehingga terjadi interaksi antara pembaca dengan teks.

Kemudian menurut Kridalaksana (2001:135) menyatakan bahwa membaca adalah keterampilan mengenal bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi makna yang bermaknadalam bentuk pemahaman diam atau pengujaran keras-keras.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah menggali informasi dari teks, baik yang berupa tulisan maupun dari gambar atau diagram.

 

2. Manfaat Membaca

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut terciptanya masyarakat yang gemar belajar. Proses belajar yang efektif antara lain dilakukan melalui membaca. Masyarakat yang gemar membaca memperoleh pengetahuan dan wawasan baru yang akan semakin meningkatkan kecerdasan sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masa-masa mendatang.

Burns, dkk (1996) mengemukakan bahwa kemampuan membaca merupakan suatu yang vital dalam suatu masyarakat terpelajar. Namun, anak-anak yang tidak memahami pentingnya belajar membaca tidak akan termotivasi untuk belajar. Belajar membaca merupakan usaha yang terus-menerus, dan anak-anak yang melihat tingginya nilai (value) membaca dalam kegiatan pribadinya akan lebih giat belajar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak menemukan keuntungan dari kegiatan membaca. 

Membaca semakin penting dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Setiap aspek kehidupan melibatkan kegiatan membaca. Tanda-tanda jalan mengarahkan orang yang berpergian sampai pada tujuannya, menginformasikan pengemudi mengenai bahaya di jalan, dan mengingatkan aturan-aturan lalu lintas. Pengusaha katering tidak perlu harus pergi ke pasar untuk mengetahui harga bahan-bahan yang akan dibutuhkan. Dia cukup membaca surat kabar untuk mendapatkan informasi tersebut. Kemudian, dia bisa merencanakan apa saja yang harus dibelinya disesuaikan dengan informasi tentang bahan-bahan yang dibutuhkan.

Di samping itu, kemampuan membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Beribu judul buku dan berjuta koran diterbitkan setiap hari. Ledakan informasi ini menimbulkan tekanan pada guru untuk menyiapkan bacaan yang memuat informasi yang relevan untuk siswa-siswanya. Walaupun tidak semua informasi perlu dibaca, tetapi jenis-jenis bacaan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita tentu perlu dibaca.

Walaupun informasi bida ditemukan dari media lain seperti televisi dan radio, namun peran membaca tak dapat digantikan sepenuhnya. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena tidak semua informasi bisa didapatkan dari media televisi dan radio.

 

3. Tujuan  Membaca

Menurut Tarigan (1994:9) tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami makna bacaan.sedangkan menurut Anderson (1972) tujuan membaca  adalah sebagai berikut:

 aMembaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang pernah dilakukan oleh sang tokoh, apa yang telah terjadi pada tokoh khusus atau untuk memecahkan masalah-masalah yang disebut dalam tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta.

b. Membaca untuk mengetahui mengapa hal ini merupakan topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari atau yang dialami sang tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca untuk meperoleh ide-ide utama. 

c.Membaca untuk menemukan atau mengetahui pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi mulai pertama, kedua dan ketiga atau seterusnya pada setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah, adegan-adegan atau kejadian-kejadian dibuat dramatisasi. Ini disebut membaca untuk mengetahui urutan atau susunan organisasi cerita.

   d.Membaca untuk menemukan atau mengetahui mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh sang pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal. Ini disebut membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi.

e. Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk mengelompokan, membaca untuk mengklasifikasikasi,

f.Membaca untuk menemukan apakah sang tokoh berhasil atau hidup dengan urutan-urutan tertentu seperti cara sang tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut membaca menilai, atau membaca mengevaluasi.

g.Membaca untuk menemukan bagaimana caranya sang tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, bagaimana sang tokoh menyerupai pembaca. Ini disebut membaca untuk membandingkan atau mempertentangkan.

Heilman (1967) berpendapat tujuan membaca adalah untuk memperkaya identitas jatidiri masyarakat dan lingkungan. Berbeda dengan pendapat di atas adalah Tampubolon (1987) mengatakan bahwa pada tingkat pembaca lanjut membaca bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan membaca tertentu, gerakan-gerakan mata, cara memotivasi kebiasaan serta minat baca.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca adalah untuk memperoleh informasi baik bentuk maupun isi bacaan yang berupa fakta-fakta, rincian-rincian, ide-ide utama, urutan atau struktur organisasi bacaan sehingga akan menambah pengetahuan.

 

4. Prinsip-Prinsip Membaca

 Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan membaca. Menurut McLaughlin & Allen (2002), prinsip-prinsip membaca yang didasarkan pada penelitian yang paling mempengaruhi pemahaman membaca ialah seperti yang dikemukakan berikut ini:

a.         merupakan proses konstruktivis sosial.

b.        Keseimbangan kemahiraksaraan adalah kerangka kerja kurikulum yang membantu perkembangan pemahaman.

c.         Guru Pemahaman membaca yang profesional (unggul) mempengaruhi belajar siswa.

d.        Pembaca yang baik memegang peranan yang strategis dan berperan aktif dalam proses membaca.

e.         Membaca hendaknya terjadi dalam konteks yang bermakna.

f.         Siswa menemukan manfaat membaca yang berasal dari berbagai teks pada berbagai tingkat kelas.

g.        Perkembangan kosakata dan pembelajaran mempengaruhi pemahaman membaca.

h.        Pengikutsertaan adalah suatu faktor kunci pada proses pemahaman.

i.          Strategi ketrampilan membaca bisa diajarkan.

j.          Asesmen yang dinamis menginformasikan pembelajaran membaca pemahaman.

 

5.Proses Membaca

Membaca merupakan pses yang komplek.Proses ini melibtkan sejumlah kegiatan fisik dan mental .Menurut Burn .dkk (1997:7)  proses membaca terdiri atas  sembilan aspek yaitu :

a.sensori

b.perseptual

c.urutan

d.pengalaman

e.pikiran

f.pembelajaran

g.asosiasi

h.sikap

i.gagasan

                Proses membaca dimulai dengan sensori visual yang diperoleh melalui pengungkapan simbol-simbol grafis melalui indra penglihatan .Anak-anak  elajaran membedakan secara visual diantara simbol-simbol grafis (huruf atau kata )  yang digunakan untuk mempresentasikan  bahasa lisan .Kegiatan yang selanjutnya adalah tindakan perseptual, yaitu aktivitas mengenal suatu  kata sampai pada suatu makna berdasarkan pengalaman yang lalu. Kegiatan ini melibatkan pesan snsori yang masuk keotak.Ketika seseorang membaca,otaqk menerima gambaran kata-kata kemudian mengungkapkanya dari halaman cetak berdasarkan pembaca sebelumnya dengan objek, gagasan, atau emosi yang dipresentasikan oleh suatu kelas.Pembaca mengenali rangkaian simbol-simbol tertulis ,baik yang berupa kata,frasa,atau kalimat. Kemudian pembaca memberi makna dengan  menginterprestasikan teks yang dibacanya . Pembaca yang satu dengan yang lainnya dalam mempersepsi suatu teks  mungkin saja tidak sama. Walaupun mereka membaca yang sama, mungkin mereka memberikan makna yang berbeda.

               Aspek urutan dalam proses kegiatan membaca merupakan kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun  secar linear,  yang pada umumnya tampil pada satu halaman dari kiri ke kanan  dari atas ke bawah ( Burs .dkk 1996 ).

Pengalam merupakan aspek yang penting dalam proses membaca.  Anak-anak memiliki pengalaman yang banyak akan mempunyai kkesempatan yang luas dalam mengembangkan pemahaman kosakata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai pengalaman terbatas. Oleh sebab itu, guru atau orang tua sebaiknya memberikan pengalaman langsung atau tidak langsung kepada anak-anaknya , misalnya pengalaman tentang tempat, benda, dan proses yang dideskripsikan dalam  materi bacaan  sehingga materi bacaan akan lebih mudah terserap  oleh anak . Pengalaman kongkret atau langsung  dan pengalaman tidak langsung  akan meningkatkan perkembangkan konseptual anak, tapi penggalaman langsung lebih efektif/ penting dari pada pengalaman tidak langsung. Guru dan orang tua bisa membantu  anak belajar  bahasa baku yang umumnya ditemukan pada buku-buku dengan menceritakan dan membacakan cerita.

                 Membaca adalah proses berpikir. Untuk dapat memahami bacaan ,pembaca  terl ebih dahulu memahami kata-kata dan kalimat  yang dihadapinya melalui proses asosiasi  dan eksperimental.Kemudian ia membuat simpulan  dengan menghubungkan isi  preposisi yang ada dalam materi bacaan .Untuk itu ia harus berpikir secara sistematis, logis dan kreaktif. Bertitik tolak pada simpilan itu, pembaca dapat menilai bacaaan. Kegiatan menilai menuntut kemampuan berpikir kritis ( Syafi’ie,1993:44). Peningkatan kemampuan berpikir melalui membaca seharusnya dimulai sejak dini. Guru dapat membimbing siswanya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memunngkinkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir.Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru hendaknya merangsang siswa  berpikir, seperti pertanyaan mengapa,bagaimana.Jadi, pertanyaan yang diajukan sehubungan  bacaan tidak hanya pertanyaan  yang hanya menghasilkan jawaban  berupa fakta.

Mengenal hubungan antara simbol dengan bunyi bahasa dan makana merupakan aspek asosiasi dalam membaca.Anak-anak berusaha menghubungkan simbol-simbol grafis dengan bunyi bahasa dengan makna.Tanpa kedua kemampuan asosiasi kemampuan tersebut siswa tidak mungkin dapat memahami teks.

                Aspek afektif  merupakan aspek membaca yang berkenaan dengan kegiatan memusatkan perhatian,membangkitkan kegemaran membaca,dan menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang membaca ( Burns.dkk 1996).Pemusatan perhatian,kesenangan,dan motivasi yang tinggidiperlukan dalam membaca. Anak-anak seharusnya dilatih untuk dapat memusatkan perhataian dalam membaca.Guru harus dapat melatih siswanya terbiasa memusatkan perhatian  dengan memberikan bacaan yang menjadi minat mereka.Tanpa perhatian yang maksimal ketika membaca.siswa sulit mendapatkan sesuatu dari bacaan.Motivasi dan kesenangan membaca sangat membantu siswa untuk memusatkan perhatian  pada bacaan.

                   Aspek kesembilan ialah aspek pemberian gagasan.Aspek gagasan dimulai dengan penggunaan sensori  dan perseptual dengan  latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta membangun makna teks  yang dibacanya  secara pribadi. Makna dibangun berdasarkan teks yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya ditemui dalam teks. Teks tersebut ditransformasikan oleh pembaca melalui informasi yang diambil dari teks. Pembaca dengan latar belakang pengalaman yang berbeda  dan reaksi afektif yang berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda dari teks yang sama.

 

PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN KURIKULUM 2013

PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN  KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil yang berjumlah sekitar 17.500. Penduduk Indonesia berdasarkan pada Sensus Penduduk tahun 2010 berjumlah lebih dari 238 juta jiwa. Keragaman yang menjadi karakteristik dan keunikan Indonesia adalah antara lain dari segi geografis, potensi sumber daya, ketersediaan sarana dan prasarana, latar belakang dan kondisi sosial budaya, dan berbagai keragaman lainnya yang terdapat di setiap daerah. Keragaman tersebut selanjutnya melahirkan pula tingkatan kebutuhan dan tantangan pengembangan yang berbeda antar daerah dalam rangka meningkatkan mutu dan mencerdaskan kehidupan masyarakat di setiap daerah.
Terkait dengan pembangunan pendidikan, masing-masing daerah memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik daerah. Begitu pula halnya dengan kurikulum sebagai jantungnya pendidikan perlu dikembangkan dan diimplementasikan secara kontekstual untuk merespon kebutuhan daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
1. Pasal 36 Ayat (2) menyebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
2. Pasal 36 Ayat (3) menyebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
3. Pasal 38 Ayat (2) mengatur bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Dari amanat undang-undang tersebut ditegaskan bahwa:
1. Kurikulum dikembangkan secara berdiversifikasi dengan maksud agar memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah serta peserta didik; dan
2. Kurikulum dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat satuan pendidikan.
Kurikulum operasional yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan diwujudkan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

II. TUJUAN PEDOMAN
Pedoman penyusunan dan pengelolaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bertujuan untuk.
1. Menjadi acuan operasional bagi kepala sekolah dan guru dalam menyusun dan mengelola KTSP secara optimal di satuan pendidikan.
2. Menjadi acuan operasional bagi dinas pendidikan atau kantor kementerian agama provinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan koordinasi dan supervisi penyusunan dan pengelolaan kurikulum di setiap satuan pendidikan.

III. PENGGUNA PEDOMAN
Pedoman ini digunakan dalam rangka penyusunan dan pengelolaan KTSP oleh:
1. kepala sekolah;
2. guru; dan
3. dinas pendidikan atau kantor kementerian agama provinsi dan kabupaten/kota.

IV. DEFINISI OPERASIONAL
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pedoman ini adalah sebagai berikut:
1. Visi sekolah merupakan cita-cita bersama pada masa mendatang dari warga sekolah/madrasah, yang dirumuskan berdasarkan masukan dari seluruh warga sekolah/madrasah.
2. Misi merupakan sesuatu yang harus diemban atau harus dilaksanakan sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu untuk menjadi rujukan bagi penyusunan program pokok sekolah/madrasah, baik jangka pendek dan menengah maupun jangka panjang, dengan berdasarkan masukan dari seluruh warga satuan pendidikan.
3. Tujuan pendidikan sekolah merupakan gambaran tingkat kualitas yang akan dicapai oleh setiap sekolah dengan mengacu pada karakteristik dan/atau keunikan setiap satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Pengembangan diri merupakan kegiatan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler.

V. KOMPONEN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
A. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Satuan Pendidikan
1. Visi mendeskripsikan cita-cita yang hendak dicapai oleh satuan pendidikan.
2. Misi mendeskripsikan indikator-indikator yang harus dilakukan melalui rencana tindakan dalam mewujudkan visi satuan pendidikan.
3. Tujuan pendidikan mendeskripsikan hal-hal yang perlu diwujudkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan.
B. Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Muatan KTSP terdiri atas muatan kurikulum pada tingkat nasional, muatan kurikulum pada tingkat daerah, dan muatan kekhasan satuan pendidikan.
1. Muatan Kurikulum pada Tingkat Nasional
Muatan kurikulum pada tingkat nasional yang dimuat dalam KTSP adalah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan:
a. untuk SD/MI mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SD/MI;
b. untuk SMP/MTs mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs;
c. untuk SMA/MA mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA;
d. untuk SMK/MAK mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK;
2. Muatan Kurikulum pada Tingkat Daerah
Muatan kurikulum pada tingkat daerah yang dimuat dalam KTSP terdiri atas sejumlah bahan kajian dan pelajaran dan/atau mata pelajaran muatan lokal yang ditentukan oleh daerah yang bersangkutan. Penetapan muatan lokal didasarkan pada kebutuhan dan kondisi setiap daerah, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota.
Muatan lokal yang berlaku untuk seluruh wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan gubernur. Begitu pula halnya, apabila muatan lokal yang berlaku untuk seluruh wilayah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
3. Muatan Kekhasan Satuan Pendidikan
Muatan kekhasan satuan pendidikan berupa bahan kajian dan pelajaran dan/atau mata pelajaran muatan lokal serta program kegiatan yang ditentukan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik.

C. Pengaturan Beban Belajar
1. Beban belajar dalam KTSP diatur dalam bentuk sistem paket atau sistem kredit semester.
a. Sistem Paket
Beban belajar dengan sistem paket sebagaimana diatur dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan merupakan pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat pada semester gasal dan genap dalam satu tahun ajaran. Beban belajar pada sistem paket terdiri atas pembelajaran tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri.
b. Sistem Kredit Semester
Sistem Kredit Semester (SKS) diberlakukan hanya untuk SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Beban belajar setiap mata pelajaran pada SKS dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Beban belajar 1 (satu) sks terdiri atas 1 (satu) jam pembelajaran tatap muka, 1 (satu) jam penugasan terstruktur, dan 1 (satu) jam kegiatan mandiri.
2. Beban belajar tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri.
a. Sistem Paket
Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri pada satuan pendidikan yang menggunakan Sistem Paket yaitu 0%-40% untuk SD/MI, 0%-50% untuk SMP/MTs, dan 0%-60% untuk SMA/MA/SMK/MAK dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.
b. Sistem Kredit
Beban belajar tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri pada satuan pendidikan yang menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS) mengikuti aturan sebagai berikut:
1) Satu sks pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri.
2) Satu sks pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka dan 25 menit penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri.
3. Beban Belajar Kegiatan Praktik Kerja SMK
Beban belajar kegiatan praktik kerja di SMK diatur: (i) 2 (dua) jam praktik di sekolah setara dengan 1 (satu) jam tatap muka, dan (ii) 4 (empat) jam praktik di dunia usaha dan industri setara dengan 2 (dua) jam tatap muka.
4. Beban Belajar Tambahan
Satuan pendidikan dapat menambah beban belajar per minggu sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik. Konsekuensi penambahan beban belajar pada satuan pendidikan menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan.
D. Kalender Pendidikan
Kurikulum satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang diselenggarakan dengan mengikuti kalender pendidikan. Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif, dan hari libur.
1. Permulaan Waktu Pelajaran
Permulaan waktu pelajaran di setiap satuan pendidikan dimulai pada setiap awal tahun pelajaran.
2. Pengaturan Waktu Belajar Efektif
a. Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran di luar waktu libur untuk setiap tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.
b. Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu yang meliputi jumlah jam pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran termasuk muatan lokal (kurikulum tingkat daerah), ditambah jumlah jam untuk kegiatan lain yang dianggap penting oleh satuan pendidikan.
3. Pengaturan Waktu Libur
Penetapan waktu libur dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku tentang hari libur, baik nasional maupun daerah. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.
Alokasi waktu minggu efektif belajar, waktu libur, dan kegiatan lainnya tertera pada Tabel berikut ini.
Tabel 1: Alokasi Waktu pada Kalender Pendidikan NO KEGIATAN ALOKASI WAKTU KETERANGAN
1. Minggu efektif belajar
Minimum 34 minggu dan maksimum 38 minggu
Digunakan untuk kegiatan pembelajaran efektif pada setiap satuan pendidikan
2. Jeda tengah semester
Maksimum 2 minggu
Satu minggu setiap semester
3. Jeda antar
Maksimum 2
Antara semester I dan II
NO KEGIATAN ALOKASI WAKTU KETERANGAN
semester
minggu
4. Libur akhir tahun pelajaran
Maksimum 3 minggu
Digunakan untuk penyiapan kegiatan dan administrasi akhir dan awal tahun pelajaran
5. Hari libur keagamaan
2 – 4 minggu
Daerah khusus yang memerlukan libur keagamaan lebih panjang dapat mengaturnya sendiri tanpa mengurangi jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif
6. Hari libur umum/nasional
Maksimum 2 minggu
Disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
7. Hari libur khusus
Maksimum 1 minggu
Untuk satuan pendidikan sesuai dengan ciri kekhususan masing-masing
8. Kegiatan khusus sekolah/madrasah
Maksimum 3 minggu
Digunakan untuk kegiatan yang diprogramkan secara khusus oleh sekolah/madrasah tanpa mengurangi jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif

VI. MEKANISME PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN
A. Tahapan Penyusunan
Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan sebelum tahun pelajaran baru.
Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: (i) perumusan visi dan misi berdasarkan analisis konteks dengan tetap mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan nasional dan daerah; penyiapan dan penyusunan draf; riviu, revisi, dan finalisasi; pemantapan dan penilaian; serta pengesahan. Langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim pengembang kurikulum sekolah.

B. Prinsip-prinsip Penyusunan
Dalam menyusun KTSP perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Peningkatan Iman, Takwa, dan Akhlak Mulia
Iman, takwa, dan akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. KTSP disusun agar semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia.
2. Kebutuhan Kompetensi Masa Depan
Kemampuan peserta didik yang diperlukan yaitu antara lain kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis dan kreatif dengan mempertimbangkan nilai dan moral Pancasila agar menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, toleran dalam keberagaman, mampu hidup dalam masyarakat global, memiliki minat luas dalam kehidupan dan kesiapan untuk bekerja, kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan peduli terhadap lingkungan. Kurikulum harus mampu menjawab tantangan ini sehingga perlu mengembangkan kemampuan-kemampuan ini dalam proses pembelajaran.
3. Peningkatan Potensi, Kecerdasan, dan Minat sesuai dengan Tingkat Perkembangan dan Kemampuan Peserta Didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik.
4. Keragaman Potensi dan Karakteristik Daerah dan Lingkungan
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum perlu memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
5. Tuntutan Pembangunan Daerah dan Nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi, kurikulum adalah salah satu media pengikat dan pengembang keutuhan bangsa yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, kurikulum perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan daerah dan nasional.
6. Tuntutan Dunia Kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
7. Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
8. Agama
Kurikulum dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman, taqwa, serta akhlak mulia dan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua matapelajaran ikut mendukung peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia.
9. Dinamika Perkembangan Global
Kurikulum menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
10. Persatuan Nasional dan Nilai-Nilai Kebangsaan
Kurikulum diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, kurikulum harus menumbuhkembangkan wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
11. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Setempat
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat ditumbuhkan terlebih dahulu sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
12. Kesetaraan Jender
Kurikulum diarahkan kepada pengembangan sikap dan perilaku yang berkeadilan dengan memperhatikan kesetaraan jender.
13. Karakteristik Satuan Pendidikan
Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kondisi dan ciri khas satuan pendidikan.

C. Mekanisme Pengelolaan
KTSP dikelola berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti bahwa kegiatan pembelajaran harus berpusat pada peserta didik.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan nasional sesuai tujuan pendidikan, keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib dan muatan lokal.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum satuan pendidikan dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum perlu memperhatikan keseimbangan antara hard skills dan soft skills pada setiap kelas antarmata pelajaran, dan memperhatikan kesinambungan hard skills dan soft skills antarkelas.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan), bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan kemampuan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan daerah saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka NKRI.

VII. PIHAK YANG TERLIBAT
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor kementerian agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan dinas pendidikan atau kantor wilayah kementerian agama provinsi untuk pendidikan menengah.
a. Tim penyusun KTSP pada SD, SMP, SMA dan SMK terdiri atas: guru, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota. Dalam kegiatan penyusunan KTSP, tim penyusun melibatkan komite sekolah, nara sumber, dan pihak lain yang terkait. Koordinasi dan supervisi dilakukan oleh dinas yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tingkat kabupaten/kota untuk SD dan SMP dan dinas yang bertanggung jawab di bidang pendidikan di tingkat provinsi untuk SMA dan SMK.
b. Tim penyusun KTSP pada MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas: guru, konselor, dan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota. Dalam kegiatan penyusunan KTSP, tim penyusun melibatkan komite madrasah, nara sumber, dan pihak lain yang terkait. Koordinasi dan supervisi dilakukan oleh kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
c. Tim penyusun KTSP pada pendidikan khusus (SDLB, SMPLB, dan SMALB) terdiri atas: guru, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota. Dalam kegiatan penyusunan KTSP, tim penyusun melibatkan komite sekolah, nara sumber, dan pihak lain yang terkait. Koordinasi dan supervisi dilakukan oleh dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.

VIII. PENUTUP
Demikian Pedoman ini disusun sebagai acuan operasional dalam penyusunan dan pengelolaan KTSP oleh satuan pendidikan. Dengan adanya KTSP tersebut, satuan pendidikan dapat mengatur implementasi Kurikulum 2013 ke dalam tataran teknis secara fleksibel, terutama pada aspek pembelajaran.

PENILAIAN OTENTIK DI SD

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

 

PENILAIAN DI SD

 

A.   Karakteristik Penilaian

 

Penilaian dalam  Kurikulum 2013 memiliki karakteristik sebagai berikut:

 

  1. Belajar Tuntas

 

Asumsi yang digunakan dalam belajar tuntas adalah peserta didik dapat mencapai kompetensi yang ditentukan, asalkan peserta didik mendapat bantuan yang tepat dan diberi waktu sesuai dengan yang dibutuhkan. Peserta didik yang belajar lambat perlu diberi waktu lebih lama untuk materi yang sama, dibandingkan peserta didik pada umumnya.

 

Untuk kompetensi pada kategori pengetahuan dan keterampilan (KI-3 dan KI-4), peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan atau kompetensi berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan hasil yang baik.

 

  1. Otentik

 

Memandang penilaian dan pembelajaran adalah merupakan dua hal yang saling berkaitan.Penilaian otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik.

 

Berikut contoh-contoh tugas otentik:

 

  Pemecahan masalah matematika

 

  Melaksanakan percobaan

 

  Bercerita

 

  Menulis laporan

 

  Berpidato

 

  Membaca puisi

 

  Membuat peta perjalanan

 

 

 

 

 

 

 

  1. Berkesinambungan

 

Penilaian berkesinambungan dimaksudkan sebagai penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan selama pembelajaran berlangsung.Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh  mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik, memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk penilaian proses, dan berbagai jenis ulangan secara berkelanjutan (ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester).

 

  1. Menggunakan  teknik penilaian yang bervariasi

 

Teknik penilaian yang dipilih dapat berupa tertulis, lisan,  produk, portofolio, unjuk kerja, projek, pengamatan, dan penilaian diri.

 

  1. Berdasarkan acuan kriteria

 

Kemampuan peserta didik tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap kriteria yang ditetapkan, misalnya ketuntasan minimal, yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing.

 

Penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan. Kemampuan peserta didik tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan  terhadap kriteria yang ditetapkan, misalnya ketuntasan belajar minimal (KKM), yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing dengan mempertimbangkan karakteristik kompetensi dasar yang akan dicapai, daya dukung (sarana dan guru), dan karakteristik peserta didik.

 

KKM diperlukan agar guru mengetahui kompetensi yang sudah dan belum dikuasai secara tuntas. Guru mengetahui sedini mungkin kesulitan peserta didik, sehingga pencapaian kompetensi yang kurang optimal dapat segera diperbaiki. Bila kesulitan dapat terdeteksi sedini mungkin, peserta didik tidak sempat merasa frustasi, kehilangan motivasi, dan sebaliknya peserta didik merasa mendapat perhatian yang optimal dan bantuan yang berharga dalam proses pembelajarannya. Namun ketuntasan belajar minimal tidak perlu dicantumkan dalam buku rapor, hanya menjadi catatan guru.

 

 

 

B.   Jenis Penilaian

 

Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester yang diuraikan sebagai berikut.

 

1.   Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai aspek sikap, pengetahuan, keterampilan mulai dari masukan (input), proses, sampai keluaran (output) pembelajaran. Penilaian otentik bersifat alami, apa adanya, tidak dalam suasana tertekan.

 

2.    Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.

 

3.    Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas dalam kurun waktu tertentu.

 

4.    Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.

 

5.    Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu sub-tema. Ulangan harian terintegrasi dengan proses pembelajaran lebih untuk mengukur aspek pengetahuan, dalam bentuk tes tulis, tes lisan, dan penugasan.

 

6.    Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran.

 

7.    Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.

 

 

 

Selain penilaian di atas, ada beberapa jenis penilaian antara lain:

 

1.    Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan  kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.

 

2.    Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikanKompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.

 

Penilaian dilakukan secara holistik meliputi aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk setiap jenjang pendidikan, baik selama pembelajaran berlangsung (penilaian proses) maupun setelah pembelajaran usai dilaksanakan (penilaian hasil belajar). Pada jenjang pendidikan dasar, proporsi pembinaan karakter lebih diutamakan dari pada proporsi pembinaan akademik.

 

 

 

C. Teknik Penilaian

 

Penilaian di SD dilakukan dalam berbagai teknik untuk semua kompetensi dasar yang dikategorikan dalam tiga aspek, yaitu  sikap, pengetahuan, dan  keterampilan .  

 

  1. Sikap

 

a.    Contoh muatan KI-1 (sikap spiritual) antara lain:

 

1.    Ketaatan beribadah

 

2.    Berperilaku syukur

 

3.    Berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan

 

4.    Toleransi dalam beribadah

 

 

 

b.    Contoh muatan KI-2 (sikap sosial) antara lain:

 

1    Jujur

 

2    Disiplin

 

3    Tanggung jawab

 

4    Santun

 

5    Peduli

 

6    Percaya diri

 

7    Bisa ditambahkan lagi sikap-sikap yang lain sesuai kompetensi dalam pembelajaran, misal : kerja sama, ketelitian, ketekunan, dll..

 

 

 

Penilaian apek sikap dilakukan melalui observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, dan jurnal.

 

a.    Observasi 

 

Merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan format observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati. Hal ini dilakukan saat pembelajaran maupun diluar pembelajaran.

 

b.    Penilaian Diri

 

Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri.

 

c.    Penilaian Antarteman

 

Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik  untuk saling menilai terkait dengan sikap dan perilaku keseharian peserta didik. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antarpeserta didik.

 

 

 

d.    Jurnal Catatan Guru

 

Merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Jurnal bisa dikatakan sebagai catatan yang berkesinambungan dari hasil observasi.

 

  1. Pengetahuan

 

Aspek  Pengetahuan dapat dinilai dengan cara berikut:

 

a.    Tes tulis

 

Tes tulis adalah tes yang soal dan jawabannya tertulis berupa pilihan ganda, isian, Benar-salah, menjodohkan, dan uraian.

 

 

 

b.  Tes Lisan

 

Tes lisan berupa pertanyaan- pertanyaan yang diberikan guru secara ucap (oral) sehingga peserta didik merespon pertanyaan tersebut  secara ucap juga, sehingga menimbulkan keberanian. Jawaban dapat berupa kata, frase, kalimat maupun faragraf yang diucapkan.

 

c.   Penugasan

 

Penugasan adalah penilaian yang dilakukan oleh pendidik yang dapat berupa pekerjaan rumah baik secara individu ataupun kelompok sesuai dengan karakteristik tugasnya.

 

3.                            Keterampilan

 

Aspek  keterampilan dapat dinilai dengan cara berikut:

 

a.   Kinerja atau Performance

 

adalah suatu penilaian yang meminta siswa untuk melakukan suatu tugas pada situasi yang sesungguhnya yang mengaplikasikan pengetahuan dan  keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya tugas memainkan alat musik, menggunakan mikroskop, menyanyi, bermain peran, menari.

 

Contoh penilaian tes performance  atau kinerja akan diberikan pada bab Implementasi pada bab selanjutnya.

 

b.     Projek

 

Penilaian Projek merupakan penilaian terhadap tugas yang mengandung investigasi dan  harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, pelaporan.    Projek juga akan memberikan informasi tentang pemahaman dan pengetahuan siswa pada pembelajaran tertentu, kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan, dan kemampuan siswa untuk mengomunikasikan informasi. Penilaian projek sangat dianjurkan karena membantu mengembangkan ketrampilan berpikir tinggi  (berpikir kritis, pemecahan masalah, berpikir kreatif) peserta didik . misalnya membuat laporan pemanfaatan energy di dalam kehidupan, membuat laporan hasil pengamatan pertumbuhan tanaman.

 

c.      Portofolio

 

Penilaian dengan memanfaatkan Portofolio merupakan penilaian melalui sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang dilakukan selama kurun waktu tertentu. Portofolio digunakan oleh guru dan peserta didik untuk memantau secara terus menerus perkembangan pengetahuan dan  keterampilan peserta didik dalam bidang tertentu. Dengan demikian penilaian portofolio memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses & pencapaian hasil belajar peserta didik.

 

Portofolio merupakan bagian terpadu dari pembelajaran sehingga guru mengetahui sedini mungkin kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam menguasai kompetensi pada suatu tema.Misalnya kompetensi pada tema “selalu berhemat energy”.Contoh kompetensi membuat laporan hasil percobaan.  Kemampuan membuat laporan hasil percobaan tentu tidak seketika dikuasai peserta didik, tetapi membutuhkan proses panjang, dimulai dari penulisan draf, perbaikan draf,  sampai laporan akhir yang siap disajikan. Selama proses ini diperlukan bimbingan guru melalui catatan-catatan tentang karya peserta didik sebagai masukan perbaikan lebih lanjut. Kumpulan karya anak sejak draf sampai laporan akhir berserta catatan catatan sebagai masukan guru inilah, yang menjadi potofolio.

 

Di samping memuat karya-karya anak beserta catatan guru, terkait kompetensi membuat laporan hasil percobaan tersebut di atas, portofolio juga bisa memuat catatan hasil penilaian diri dan teman sejawat tentang kompetensi yang sama serta sikap dan perilaku sehari hari peserta didik yang bersangkutan.

 

Agar penilaian portofolio berjalan efektif guru beserta peserta didik perlu menentuan hal-hal yang harus dilakukan dalam menggunakan portofolio Sebagai berikut:

 

1)    masing-masing peserta didik memiliki porto folio sendiri yang di dalamnya memuat hasil belajar siswa setiap muatan pelajaran atau setiap kompetensi.

 

2)    menentukan hasil kerja apa yang perlu dikumpulan/disimpan.

 

3)    sewaktu waktu peserta didik diharuskan membaca catatan guru yang berisi komentar, masukkan dan tindakan lebih lanjut yang harus dilakukan peserta didik dalam rangka memperbaiki  hasil kerja dan sikap.

 

4)    peserta didik dengan kesadaran sendiri menindaklanjuti catatan guru.

 

5)    catatan guru dan perbaikan hasil kerja yang dilakukan peserta didik perlu diberi tanggal, sehingga perkembangan kemajuan belajar peserta didik  dapat terlihat.



PEDOMAN UMUM PEMBELAJARAN (Kurikulum 2013)

PEDOMAN UMUM PEMBELAJARAN

I. PENDAHULUAN
Pedoman Umum Pembelajaran mencakup kerangka konseptual dan operasional tentang: strategi pembelajaran, sistem kredit semester, penilaian hasil belajar, dan layanan bimbingan dan konseling. Cakupan pedoman tersebut dikembangkan dalam kerangka implementasi Kurikulum 2013.
Strategi pembelajaran sangat diperlukan dalam menunjang terwujudnya seluruh kompetensi yang dimuat dalam Kurikulum 2013. Dalam arti bahwa kurikulum memuat apa yang seharusnya diajarkan kepada peserta didik, sedangkan pembelajaran merupakan cara bagaimana apa yang diajarkan bisa dikuasai oleh peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran didahului dengan penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dikembangkan oleh guru baik secara individual maupun kelompok yang mengacu pada Silabus.
Sistem Kredit Semester (SKS) disiapkan untuk memfasilitasi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan pengelolaan kurikulum dengan menerapkan SKS sebagai perwujudan konsep belajar tuntas, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya.
Strategi penilaian disiapkan untuk memfasilitasi guru dalam mengembangkan pendekatan, teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan pendekatan otentik Penilaian memungkinkan para pendidik mampu menerapkan program remedial bagi peserta didik yang tergolong pebelajar lambat dan program pengayaan bagi peserta didik yang termasuk kategori pebelajar cepat
Sedangkan substansi bimbingan dan konseling disiapkan untuk memfasilitasi satuan pendidikan dalam mewujudkan proses pendidikan yang memperhatikan dan menjawab ragam kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai dengan karakteristik peserta didik. Khusus untuk SMA/MA dan SMK/MAK) bimbingan dan konseling dimaksudkan untuk membantu satuan pendidikan dalam memfasilitasi peserta didik dalam memilih dan menetapkan program peminatan akademik bagi peserta didik SMA/MA dan peminatan vokasi bagi peserta didik SMK/MAK serta pemilihan mata pelajaran lintas peminatan khusus bagi peserta didik SMA/MA. Selain itu bimbingan dan konseling juga dimaksudkan untuk memfasilitasi guru bimbingan dan konseling (guru BK) atau konselor sekolah untuk menangani dan membantu peserta didik yang secara individual mengalami masalah psikologis atau psikososial, seperti sulit berkonsentrasi, rasa cemas, dan gejala perilaku menyimpang.
Dalam konteks konseptual penjelasan Pasal 77O huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan keempat substansi tersebut secara kurikuler dan pedagogik terkait erat dengan instrumentasi dan praksis pembelajaran dalam arti luas. Oleh karena itu, keempat substansi pedoman tersebut dikemas dalam satu pedoman yakni Pedoman Umum Pembelajaran.

II. TUJUAN PEDOMAN
Pedoman ini dimaksudkan untuk:
1. memfasilitasi guru secara individual dan kelompok dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan melaksanakan pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan model untuk muatan dan/atau mata pelajaran yang diampunya;
2. memfasilitasi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester sebagai perwujudan konsep belajar tuntas sesuai dengan kesiapan masing-masing;
3. memfasilitasi guru secara individual atau kelompok dalam mengembangkan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan pendekatan otentik untuk muatan dan/atau mata pelajarannya; dan
4. memfasilitasi satuan pendidikan dalam mewujudkan proses pendidikan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai karakteristik peserta didik dan dalam memfasilitasi peserta didik untuk memilih dan menetapkan program peminatan, serta memfasilitasi guru BK atau konselor sekolah untuk menangani dan membantu peserta didik yang secara individual mengalami masalah psikologis atau psikososial.

III. PENGGUNA PEDOMAN
Pengguna pedoman ini mencakup pihak-pihak sebagai berikut.
1. Guru secara individual atau kelompok guru (guru mata pelajaran, guru kelas, dan guru pembina kegiatan ekstrakurikuler);
2. Pimpinan satuan pendidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas);
3. Guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah; dan
4. Tenaga kependidikan (pengawas, pustakawan sekolah, pembina pramuka).
IV. CAKUPAN PEDOMAN
Pedoman ini mencakup substansi sebagai berikut.
1. Konsep dan strategi pembelajaran sebagai dasar dan kerangka pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaa pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan model.
2. Konsep dan strategi penerapan Sistem Kredit Semester sebagai landasan bagi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester.
3. Konsep dan strategi penilaian sebagai dasar dan kerangka pengembangan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan pendekatan otentik.
4. Konsep dan strategi pembimbingan dan konsultasi agar peserta didik mampu mengenali potensi diri dan akademik sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat.
V. KONSEP DAN STRATEGI PEMBELAJARAN
A. Pandangan tentang pembelajaran
Secara prinsip, kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan.
Lebih lanjut, strategi pembelajaran harus diarahkan untuk memfasilitasi pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum agar setiap individu mampu menjadi pebelajar mandiri sepanjang hayat. dan yang pada gilirannya mereka menjadi komponen penting untuk mewujudkan masyarakat belajar. Kualitas lain yang dikembangkan kurikulum dan harus terealisasikan dalam proses pembelajaran antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup peserta didik guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa.
Untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.
Di dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan yang sudah ada dalam ingatannya, dan melakukan pengembangan menjadi informasi atau kemampuan yang sesuai dengan lingkungan dan jaman tempat dan waktu ia hidup. Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya.
Guru memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan mengembangkan suasana belajar yang memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan, menerapkan ide-ide mereka sendiri, menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru mengembangkan kesempatan belajar kepada peserta didik untuk meniti anak tangga yang membawa peserta didik kepemahaman yang lebih tinggi, yang semula dilakukan dengan bantuan guru tetapi semakin lama semakin mandiri. Bagi peserta didik, pembelajaran harus bergeser dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari tahu”.
Di dalam pembelajaran, peserta didik mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Bagi peserta didik, pengetahuan yang dimilikinya bersifat dinamis, berkembang dari sederhana menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang lingkup yang lebih luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia yang sedang berkembang, peserta didik telah, sedang, dan/atau akan mengalami empat tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor, pra-operasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Secara umum jenjang pertama terjadi sebelum seseorang memasuki usia sekolah, jejang kedua dan ketiga dimulai ketika seseorang menjadi peserta didik di jenjang pendidikan dasar, sedangkan jenjang keempat dimulai sejak tahun kelima dan keenam sekolah dasar.
Proses pembelajaran terjadi secara internal pada diri peserta didik. Proses tersebut mungkin saja terjadi akibat dari stimulus luar yang diberikan guru, teman, lingkungan. Proses tersebut mungkin pula terjadi akibat dari stimulus dalam diri peserta didik yang terutama disebabkan oleh rasa ingin tahu. Proses pembelajaran dapat pula terjadi sebagai gabungan dari stimulus luar dan dalam. Dalam proses pembelajaran, guru perlu mengembangkan kedua stimulus pada diri setiap peserta didik.
Di dalam pembelajaran, peserta didik difasilitasi untuk terlibat secara aktif mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi. Guru menyediakan pengalaman belajar bagi peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi yang dimiliki mereka menjadi kompetensi yang ditetapkan dalam dokumen kurikulum atau lebih. Pengalaman belajar tersebut semakin lama semakin meningkat menjadi kebiasaan belajar mandiri dan ajeg sebagai salah satu dasar untuk belajar sepanjang hayat.
Dalam suatu kegiatan belajar dapat terjadi pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam kombinasi dan penekanan yang bervariasi. Setiap kegiatan belajar memiliki kombinasi dan penekanan yang berbeda dari kegiatan belajar lain tergantung dari sifat muatan yang dipelajari. Meskipun demikian, pengetahuan selalu menjadi unsur penggerak untuk pengembangan kemampuan lain.
B. Pembelajaran langsung dan tidak langsung
Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect.
Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan yang terjadi selama belajar di sekolah dan di luar dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan moral dan perilaku yang terkait dengan sikap.
Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2.
Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu:
a. mengamati;
b. menanya;
c. mengumpulkan informasi;
d. mengasosiasi; dan
e. mengkomunikasikan.
Kelima pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 1: Keterkaitan antara Langkah Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya.
LANGKAH PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR
KOMPETENSI YANG DIKEMBANGKAN
Mengamati
Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat)
Melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi

LANGKAH PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR
KOMPETENSI YANG DIKEMBANGKAN
Menanya
Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati
(dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik)
Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat
Mengumpulkan informasi/ eksperimen
– melakukan eksperimen
– membaca sumber lain selain buku teks
– mengamati objek/ kejadian/
– aktivitas
– wawancara dengan nara sumber
Mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
Mengasosiasikan/
mengolah informasi
– mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.
– Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang
Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan .

LANGKAH PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR
KOMPETENSI YANG DIKEMBANGKAN
memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan
Mengkomunikasikan
Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya
Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

C. Perencanaan pembelajaran
Tahap pertama dalam pembelajaran menurut standar proses yaitu perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan kegiatan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
1. Hakikat RPP
Rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP mencakup: (1) data sekolah, matapelajaran, dan kelas/semester; (2) materi pokok; (3) alokasi waktu; (4) tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian kompetensi; (5) materi pembelajaran; metode pembelajaran; (6) media, alat dan sumber belajar; (6) langkah-langkah kegiatan pembelajaran; dan (7) penilaian.
Setiap guru di setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP untuk kelas di mana guru tersebut mengajar (guru kelas) di SD dan untuk guru matapelajaran yang diampunya untuk guru SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Pengembangan RPP dapat dilakukan pada setiap awal semester atau awal tahun pelajaran, dengan maksud agar RPP telah tersedia terlebih dahulu dalam setiap awal pelaksanaan pembelajaran. Pengembangan RPP dapat dilakukan secara mandiri atau secara berkelompok.
Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara mandiri dan/atau secara bersama-sama melalui musyawarah guru MATA pelajaran (MGMP) di dalam suatu sekolah tertentu difasilitasi dan disupervisi kepala sekolah atau guru senior yang ditunjuk oleh kepala sekolah.
Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara berkelompok melalui MGMP antarsekolah atau antarwilayah dikoordinasikan dan disupervisi oleh pengawas atau dinas pendidikan.
2. Prinsip-Prinsip Pengembangan RPP
Berbagai prinsip dalam mengembangkan atau menyusun RPP adalah sebagai berikut.
a. RPP disusun guru sebagai terjemahan dari ide kurikulum dan berdasarkan silabus yang telah dikembangkan di tingkat nasional ke dalam bentuk rancangan proses pembelajaran untuk direalisasikan dalam pembelajaran.
b. RPP dikembangkan guru dengan menyesuaikan apa yang dinyatakan dalam silabus dengan kondisi di satuan pendidikan baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
c. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
d. Sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013 untuk menghasilkan peserta didik sebagai manusia yang mandiri dan tak berhenti belajar, proses pembelajaran dalam RPP dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mengembangkan motivasi, minat, rasa ingin tahu, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, semangat belajar, keterampilan belajar dan kebiasaan belajar.
e. Mengembangkan budaya membaca dan menulis
f. Proses pembelajaran dalam RPP dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
g. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut.
h. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi. Pemberian pembelajaran remedi dilakukan setiap saat setelah suatu ulangan atau ujian dilakukan, hasilnya dianalisis, dan kelemahan setiap peserta didik dapat teridentifikasi. Pemberian pembelajaran diberikan sesuai dengan kelemahan peserta didik.
i. Keterkaitan dan keterpaduan.
j. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara KI dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas matapelajaran untuk sikap dan keterampilan, dan keragaman budaya.
k. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
l. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
3. Komponen dan Sistematika RPP
RPP paling sedikit memuat: (i) tujuan pembelajaran, (ii) materi pembelajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) sumber belajar, dan (v) penilaian.
Komponen-komponen tersebut secara operasional diwujudkan dalam bentuk format berikut ini.
Sekolah :
Matapelajaran :
Kelas/Semester :
Materi Pokok :
Alokasi Waktu :
A. Kompetensi Inti (KI)
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
1. _____________ (KD pada KI-1)
2. _____________ (KD pada KI-2)
3. _____________ (KD pada KI-3)
Indikator: __________________
4. _____________ (KD pada KI-4)
Indikator: __________________
Catatan: KD-1 dan KD-2 dari KI-1 dan KI-2 tidak harus dikembangkan dalam indikator karena keduanya dicapai melalui proses pembelajaran yang tidak langsung. Indikator dikembangkan hanya untuk KD-3 dan KD-4 yang dicapai melalui proses pembelajaran langsung.
C. Tujuan Pembelajaran
D. Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok)
E. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran)
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media
2. Alat/Bahan
3. Sumber Belajar
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan Kesatu:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
b. Kegiatan Inti (…menit)
c. Penutup (…menit)
2. Pertemuan Kedua:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
b. Kegiatan Inti (…menit)
c. Penutup (…menit), dan seterusnya.
H. Penilaian
1. Jenis/teknik penilaian
2. Bentuk instrumen dan instrumen
3. Pedoman penskoran
4. Langkah-Langkah Pengembangan RPP
a. Mengkaji Silabus
Secara umum, untuk setiap materi pokok pada setiap silabus terdapat 4 KD sesuai dengan aspek KI (sikap kepada Tuhan, sikap diri dan terhadap lingkungan, pengetahuan, dan keterampilan). Untuk mencapai 4 KD tersebut, di dalam silabus dirumuskan kegiatan peserta didik secara umum dalam pembelajaran berdasarkan standar proses. Kegiatan peserta didik ini merupakan rincian dari eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, yakni: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah dan mengkomunikasikan. Kegiatan inilah yang harus dirinci lebih lanjut di dalam RPP, dalam bentuk langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran, yang membuat peserta didik aktif belajar. Pengkajian terhadap silabus juga meliputi perumusan indikator KD dan penilaiannya.
b. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian KD dengan mempertimbangkan:
1) potensi peserta didik;
2) relevansi dengan karakteristik daerah,
3) tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;
4) kebermanfaatan bagi peserta didik;
5) struktur keilmuan;
6) aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
7) relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
8) alokasi waktu.
c. Menentukan Tujuan
Tujuan dapat diorganisasikan mencakup seluruh KD atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan. Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek: Audience (peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan).
d. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
1) Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik, khususnya guru, agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
2) Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan manajerial yang dilakukan guru, agar peserta didik dapat melakukan kegiatan seperti di silabus.
3) Kegiatan pembelajaran untuk setiap pertemuan merupakan skenario langkah-langkah guru dalam membuat peserta didik aktif belajar. Kegiatan ini diorganisasikan menjadi kegiatan: Pendahuluan, Inti, dan Penutup. Kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut menjadi rincian dari kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, yakni: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan. Untuk pembelajaran yang bertujuan menguasai prosedur untuk melakukan sesuatu, kegiatan pembelajaran dapat berupa pemodelan/demonstrasi oleh guru atau ahli, peniruan oleh peserta didik, pengecekan dan pemberian umpan balik oleh guru, dan pelatihan lanjutan.
e. Penjabaran Jenis Penilaian
Di dalam silabus telah ditentukan jenis penilaiannya. Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Oleh karena pada setiap pembelajaran peserta didik didorong untuk menghasilkan karya, maka penyajian portofolio merupakan cara penilaian yang harus dilakukan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang penilaian yaitu sebagai berikut:
1) Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi yaitu KD-KD pada KI-3 dan KI-4.
2) Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
3) Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan KD yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
4) Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi ketuntasan.
5) Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses misalnya teknik wawancara, maupun produk berupa hasil melakukan observasi lapangan.
f. Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu matapelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam. Oleh karena itu, alokasi tersebut dirinci dan disesuaikan lagi di RPP.
g. Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
D. Proses pembelajaran
Tahap kedua dalam pembelajaran menurut standar proses yaitu pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang materi yang sudah dipelajari dan terkait dengan materi yang akan dipelajari;
c. mengantarkan peserta didik kepada suatu permasalahan atau tugas yang akan dilakukan untuk mempelajari suatu materi dan menjelaskan tujuan pembelajaran atau KD yang akan dicapai; dan
d. menyampaikan garis besar cakupan materi dan penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan peserta didik untuk menyelesaikan permasalahan atau tugas.
2. Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk secara aktif menjadi pencari informasi, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan matapelajaran, yang meliputi proses observasi, menanya, mengumpulkan informasi, asosiasi, dan komunikasi. Untuk pembelajaran yang berkenaan dengan KD yang bersifat prosedur untuk melakukan sesuatu, guru memfasilitasi agar peserta didik dapat melakukan pengamatan terhadap pemodelan/demonstrasi oleh guru atau ahli, peserta didik menirukan, selanjutnya guru melakukan pengecekan dan pemberian umpan balik, dan latihan lanjutan kepada peserta didik.
Dalam setiap kegiatan guru harus memperhatikan kompetensi yang terkait dengan sikap seperti jujur, teliti, kerja sama, toleransi, disiplin, taat aturan, menghargai pendapat orang lain yang tercantum dalam silabus dan RPP. Cara pengumpulan data sedapat mungkin relevan dengan jenis data yang dieksplorasi, misalnya di laboratorium, studio, lapangan, perpustakaan, museum, dan sebagainya. Sebelum menggunakannya peserta didik harus tahu dan terlatih dilanjutkan dengan menerapkannya.
Berikutnya adalah contoh aplikasi dari kelima kegiatan belajar (learning event) yang diuraikan dalam tabel 1 di atas.
a. Mengamati
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek.
b. Menanya
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan: pertanyaan tentang yang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstra berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik.
Dari situasi di mana peserta didik dilatih menggunakan pertanyaan dari guru, masih memerlukan bantuan guru untuk mengajukan pertanyaan sampai ke tingkat di mana peserta didik mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri.
Dari kegiatan kedua dihasilkan sejumlah pertanyaan. Melalui kegiatan bertanya dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Semakin terlatih dalam bertanya maka rasa ingin tahu semakin dapat dikembangkan.
Pertanyaan terebut menjadi dasar untuk mencari informasi yang lebih lanjut dan beragam dari sumber yang ditentukan guru sampai yang ditentukan peserta didik, dari sumber yang tunggal sampai sumber yang beragam.
c. Mengumpulkan dan mengasosiasikan
Tindak lanjut dari bertanya adalah menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Untuk itu peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti, atau bahkan melakukan eksperimen. Dari kegiatan tersebut terkumpul sejumlah informasi.
Informasi tersebut menjadi dasar bagi kegiatan berikutnya yaitu memeroses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan.
d. Mengkomunikasikan hasil
Kegiatan berikutnya adalah menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut.
3. Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran, melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik, dan menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Perlu diingat, bahwa KD-KD diorganisasikan ke dalam empat KI. KI-1 berkaitan dengan sikap diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa. KI-2 berkaitan dengan karakter diri dan sikap sosial. KI-3 berisi KD tentang pengetahuan terhadap materi ajar, sedangkan KI-4 berisi KD tentang penyajian pengetahuan. KI-1, KI-2, dan KI-4 harus dikembangkan dan ditumbuhkan melalui proses pembelajaran setiap materi pokok yang tercantum dalam KI-3, untuk semua matapelajaran. KI-1 dan KI-2 tidak diajarkan langsung, tetapi indirect teaching pada setiap kegiatan pembelajaran.

PEDOMAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER (Kurikulum 2013)

PEDOMAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER
I. PENDAHULUAN
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pengembangan potensi peserta didik sebagaimana dimaksud dalam tujuan pendidikan nasional tersebut dapat diwujudkan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan salah satu kegiatan dalam program kurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah program kurikuler yang alokasi waktunya tidak ditetapkan dalam kurikulum. Jelasnya bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan perangkat operasional (supplement dan complements) kurikulum, yang perlu disusun dan dituangkan dalam rencana kerja tahunan/kalender pendidikan satuan pendidikan.
Kegiatan ekstrakurikuler menjembatani kebutuhan perkembangan peserta didik yang berbeda; seperti perbedaan sense akan nilai moral dan sikap, kemampuan, dan kreativitas. Melalui partisipasinya dalam kegiatan ekstrakurikuler peserta didik dapat belajar dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, serta menemukan dan mengembangkan potensinya. Kegiatan ekstrakurikuler juga memberikan manfaat sosial yang besar.
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu perangkat operasional (supplement dan complements) kurikulum, yang perlu disusun dan dituangkan dalam rencana kerja tahunan/kalender pendidikan satuan pendidikan (seperti disebutkan pada Pasal 53 ayat (2) butir a Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan) serta dievaluasi pelaksanaannya setiap semester oleh satuan pendidikan (seperti disebutkan pada Pasal 79 ayat (2) butir b Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
II. TUJUAN
Pedoman kegiatan ekstrakurikuler ini disusun dengan tujuan untuk.
1. Menjadi arahan operasional dalam pengembangan program dan kegiatan ekstrakurikuler oleh satuan pendidikan.
2. Menjadi arahan operasional dalam pelaksanaan dan penilaian kegiatan ekstrakurikuler di tingkat satuan pendidikan.
III. PENGGUNA PEDOMAN
Pedoman kegiatan ekstrakurikuler ini diharapkan bermanfaat bagi pengguna yang meliputi :
1. Dewan guru dan tenaga kependidikan sebagai pengembang dan pembina program ekstrakurikuler.
2. Kepala sekolah sebagai penanggung jawab program ekstrakurikuler di satuan pendidikan.
3. Komite sekolah/madrasah sebagai mitra sekolah yang mewakili orang tua peserta didik dalam pengembangan program dan dukungan pelaksanaan program ekstrakurikuler.
IV. DEFINISI OPERASIONAL
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pedoman ini adalah sebagai berikut.
1. Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kurikulum standar sebagai perluasan dari kegiatan kurikulum dan dilakukan di bawah bimbingan sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik yang lebih luas atau di luar minat yang dikembangkan oleh kurikulum. Berdasarkan definisi tersebut, maka kegiatan di sekolah atau pun di luar sekolah yang terkait dengan tugas belajar suatu mata pelajaran bukanlah kegiatan ekstrakurikuler.
2. Ekstrakurikuler wajib merupakan program ekstrakurikuler yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik, terkecuali bagi peserta didik dengan kondisi tertentu yang tidak memungkinkannya untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tersebut.
3. Ekstrakurikuler pilihan merupakan program ekstrakurikuler yang dapat diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing.
V. KOMPONEN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER
A. Visi dan Misi
1. Visi
Visi kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan adalah berkembangnya potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian,dan kemandirian peserta didik secara optimal melalui kegiatan-kegiatan di luar kegiatan intrakurikuler.
2. Misi
Misi kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih dan diikuti sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat peserta didik.
b. Menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri secara optimal melalui kegiatan mandiri dan atau berkelompok.
B. Fungsi dan Tujuan
1. Fungsi
Kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan memiliki fungsi pengembangan, sosial, rekreatif, dan persiapan karir.
a. Fungsi pengembangan, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk mendukung perkembangan personal peserta didik melalui perluasan minat, pengembangan potensi, dan pemberian kesempatan untuk pembentukan karakter dan pelatihan kepemimpinan.
b. Fungsi sosial, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik. Kompetensi sosial dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperluas pengalaman sosial, praktek keterampilan sosial, dan internalisasi nilai moral dan nilai sosial.
c. Fungsi rekreatif, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dilakukan dalam suasana rileks, menggembirakan, dan menyenangkan sehingga menunjang proses perkembangan peserta didik. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat menjadikan kehidupan atau atmosfer sekolah lebih menantang dan lebih menarik bagi peserta didik.
d. Fungsi persiapan karir, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik melalui pengembangan kapasitas.
2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan adalah:
a. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik.
b. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat mengembangkan bakat dan minat peserta didik dalam upaya pembinaan pribadi menuju pembinaan manusia seutuhnya.
C. Prinsip
Kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan dikembangkan dengan prinsip sebagai berikut.
1. Bersifat individual, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan sesuai dengan potensi, bakat, dan minat peserta didik masing-masing.
2. Bersifat pilihan, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan sesuai dengan minat dan diikuti oleh peserta didik secara sukarela.
3. Keterlibatan aktif, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh sesuai dengan minat dan pilihan masing-masing.
4. Menyenangkan, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dalam suasana yang menggembirakan bagi peserta didik.
5. Membangun etos kerja, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan dan dilaksanakan dengan prinsip membangun semangat peserta didik untuk berusaha dan bekerja dengan baik dan giat.
6. Kemanfaatan sosial, yakni bahwa kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak melupakan kepentingan masyarakat.
D. Jenis Kegiatan
Kegiatan ekstrakurikuler dapat berbentuk.
1. Krida; meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), dan lainnya;
2. Karya ilmiah; meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian, dan lainnya;
3. Latihan/olah bakat/prestasi; meliputi pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, dan lainnya; atau
4. Jenis lainnya.
E. Format Kegiatan
Kegiatan ekstrakurikuler dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk.
1. Individual; yakni kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dalam format yang diikuti oleh peserta didik secara perorangan.
2. Kelompok; yakni kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dalam format yang diikuti oleh kelompok-kelompok peserta didik.
3. Klasikal; yakni kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dalam format yang diikuti oleh peserta didik dalam satu kelas.
4. Gabungan; yakni kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dalam format yang diikuti oleh peserta didik antarkelas.
5. Lapangan; yakni kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dalam format yang diikuti oleh seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar sekolah atau kegiatan lapangan.
VI. MEKANISME KEGIATAN EKSTRAKURIKULER
A. Pengembangan Program dan Kegiatan Kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum 2013 dikelompokkan berdasarkan kaitan kegiatan tersebut dengan kurikulum, yakni ekstrakurikuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Ekstrakurikuler wajib merupakan program ekstrakurikuler yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik, terkecuali peserta didik dengan kondisi tertentu yang tidak memungkinkannya untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Dalam Kurikulum 2013, Kepramukaan ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sekolah dasar (SD/MI) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK), dalam pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pelaksananannya dapat bekerja sama dengan organisasi Kepramukaan setempat/terdekat. Ekstrakurikuler pilihan merupakan kegiatan yang antara lain OSIS, UKS, dan PMR. Selain itu, kegiatan ini dapat juga dalam bentuk antara lain kelompok atau klub yang kegiatan ekstrakurikulernya dikembangkan atau berkenaan dengan konten suatu mata pelajaran, misalnya klub olahraga seperti klub sepak bola atau klub bola voli.
Berkenaan dengan hal tersebut, satuan pendidikan (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan) perlu secara aktif mengidentifikasi kebutuhan dan minat peserta didik yang selanjutnya dikembangkan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat positif bagi peserta didik. Ide pengembangan suatu kegiatan ekstrakurikuler dapat pula berasal dari peserta didik atau sekelompok peserta didik. Program ekstrakurikuler berikut adalah contoh yang dapat dikembangkan di satuan pendidikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya. PROGRAM EKSTRAKURIKULER
1. Klub Tari, Nyanyi, Sandiwara, Melukis, berbagai kesenian daerah
2. Klub Diskusi Bahasa, Sastra, Drama, Orasi
3. Klub Voli, Sepak bola, Basket, Dayung, Badminton, Renang, Atletik, Silat, Karate, Yudo, Bela Diri lainnya.
4. Klub Pencinta Matematika, Komputer, Otomotif, Elektronika.
5. Klub Pencinta Alam, Pencinta Kupu-kupu, Pencinta, Arung Jeram, Pencinta Astronomi, Kebersihan Lingkungan, Pertanian
6. Klub Pendaki Gunung, Kelompok Pekerja Sosial, Polisi Lalu Lintas Sekolah
7. Perkumpulan Pengelola Rumah Ibadah, Kelompok Peduli Rumah Jompo, Kelompok Peduli Rumah Yatim.
Satuan pendidikan selanjutnya menyusun “Panduan Kegiatan Ekstrakurikuler” yang berlaku di satuan pendidikan dan mendiseminasikannya kepada peserta didik pada setiap awal tahun pelajaran.
Panduan kegiatan ekstrakurikuler yang diberlakukan pada satuan pendidikan paling sedikit memuat.
1. Kebijakan mengenai program ekstrakurikuler;
2. Rasional dan tujuan kebijakan program ekstrakurikuler;
3. Deskripsi program ekstrakurikuler meliputi:
a. ragam kegiatan ekstrakurikuler yang disediakan;
b. tujuan dan kegunaan kegiatan ekstrakurikuler;
c. keanggotaan/kepesertaan dan persyaratan;
d. jadwal kegiatan; dan
e. level supervisi yang diperlukan dari orang tua peserta didik.
4. Manajemen program ekstrakurikuler meliputi:
a. Struktur organisasi pengelolaan program ekstrakurikuler pada satuan pendidikan;
b. Level supervisi yang disiapkan/disediakan oleh satuan pendidikan untuk masing-masing kegiatan ekstrakurikuler; dan
c. Level asuransi yang disiapkan/disediakan oleh satuan pendidikan untuk masing-masing kegiatan ekstrakurikuler.
5. Pendanaan dan mekanisme pendanaan program ekstrakurikuler.
B. Pelaksanaan Kegiatan Ekstrakurikuler
Peserta didik harus mengikuti program ekstrakurikuler wajib (kecuali bagi yang terkendala), dan dapat mengikuti suatu program ekstrakurikuler pilihan baik yang terkait maupun yang tidak terkait dengan suatu mata pelajaran di satuan pendidikan tempatnya belajar.
Penjadwalan waktu kegiatan ekstrakurikuler sudah harus dirancang pada awal tahun atau semester dan di bawah bimbingan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan peserta didik. Jadwal waktu kegiatan ekstrakurikuler diatur sedemikian rupa sehingga tidak menghambat pelaksanaan kegiatan kurikuler atau dapat menyebabkan gangguan bagi peserta didik dalam mengikuti kegiatan kurikuler.
Kegiatan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam pelajaran kurikuler yang terencana setiap hari. Kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan setiap hari atau waktu tertentu (blok waktu). Kegiatan ekstrakurikuler seperti OSIS, klub olahraga, atau seni mungkin saja dilakukan setiap hari setelah jam pelajaran usai. Sementara itu kegiatan lain seperti Klub Pencinta Alam, Panjat Gunung, dan kegiatan lain yang memerlukan waktu panjang dapat direncanakan sebagai kegiatan dengan waktu tertentu (blok waktu).
Khusus untuk Kepramukaan, kegiatan yang dilakukan di luar sekolah atau terkait dengan berbagai satuan pendidikan lainnya, seperti Jambore Pramuka, ditentukan oleh pengelola/pembina Kepramukaan dan diatur agar tidak bersamaan dengan waktu belajar kurikuler rutin.
C. Penilaian Kegiatan Ekstrakurikuler
Penilaian perlu diberikan terhadap kinerja peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler. Kriteria keberhasilan lebih ditentukan oleh proses dan keikutsertaan peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dipilihnya. Penilaian dilakukan secara kualitatif.
Peserta didik diwajibkan untuk mendapatkan nilai memuaskan pada kegiatan ekstrakurikuler wajib pada setiap semester. Nilai yang diperoleh pada kegiatan ekstrakurikuler wajib Kepramukaan berpengaruh terhadap kenaikan kelas peserta didik. Nilai di bawah memuaskan dalam dua semester atau satu tahun memberikan sanksi bahwa peserta didik tersebut harus mengikuti program khusus yang diselenggarakan bagi mereka.
Persyaratan demikian tidak dikenakan bagi peserta didik yang mengikuti program ekstrakurikuler pilihan. Meskipun demikian, penilaian tetap diberikan dan dinyatakan dalam buku rapor. Penilaian didasarkan atas keikutsertaan dan prestasi peserta didik dalam suatu kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti. Hanya nilai memuaskan atau di atasnya yang dicantumkan dalam buku rapor.
Satuan pendidikan dapat dan perlu memberikan penghargaan kepada peserta didik yang memiliki prestasi sangat memuaskan atau cemerlang dalam satu kegiatan ekstrakurikuler wajib atau pilihan. Penghargaan tersebut diberikan untuk pelaksanaan kegiatan dalam satu kurun waktu akademik tertentu; misalnya pada setiap akhir semester, akhir tahun, atau pada waktu peserta didik telah menyelesaikan seluruh program pembelajarannya. Penghargaan tersebut memiliki arti sebagai suatu sikap menghargai prestasi seseorang. Kebiasaan satuan pendidikan memberikan penghargaan terhadap prestasi baik akan menjadi bagian dari diri peserta didik setelah mereka menyelesaikan pendidikannya.
D. Evaluasi Program Ekstrakurikuler
Program ekstrakurikuler merupakan program yang dinamis. Satuan pendidikan dapat menambah atau mengurangi ragam kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada setiap semester.
Satuan pendidikan melakukan revisi “Panduan Kegiatan Ekstrakurikuler” yang berlaku di satuan pendidikan untuk tahun ajaran berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tersebut dan mendiseminasikannya kepada peserta didik dan pemangku kepentingan lainnya.

VII. PIHAK YANG TERLIBAT
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan ekstrakurikuler antara lain :
A. Satuan Pendidikan
Kepala sekolah, dewan guru, guru pembina ekstrakurikuler, dan tenaga kependidikan bersama-sama mengembangkan ragam kegiatan ekstrakurikuler; sesuai dengan penugasannya melaksanakan supervisi dan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler, serta melaksanakan evaluasi terhadap program ekstrakurikuler.
B. Komite Sekolah/Madrasah
Sebagai mitra sekolah yang mewakili orang tua peserta didik memberikan usulan dalam pengembangan ragam kegiatan ekstrakurikuler dan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.
C. Orang tua
Memberikan kepedulian dan komitmen penuh terhadap suksesnya kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan karena pendidikan holistik bergantung pada pendekatan kooperatif antara satuan pendidikan/sekolah dan orang tua
VIII. PENUTUP
Demikian pedoman ini disusun sebagai arahan operasional dalam pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian program ekstrakurikuler pada satuan pendidikan. Semoga pengembangan dan pelaksanaan program ekstrakurikuler pada satuan pendidikan menuai manfaat yang signifikan dalam pengembangan kemampuan intelektual, emosional, spiritual, sosial, serta pengembangan keterampilan dan kepribadian peserta didik.

PEDOMAN PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL ( kurikulum 2013)

PENDAHULUAN

Muatan lokal, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan bahan kajian yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.
Dalam Pasal 77 N Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional dinyatakan bahwa : (1) Muatan lokal untuk setiap satuan pendidikan berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal; (2) Muatan lokal dikembangkan dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan.
Selanjutnya, dalam Pasal 77P antara lain dinyatakan bahwa : (1) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah; (2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar; (3) Pengelolaan muatan lokal meliputi penyiapan, penyusunan, dan evaluasi terhadap dokumen muatan lokal, buku teks pelajaran, dan buku panduan guru; dan (4) Dalam hal seluruh kabupaten/kota pada 1 (satu) provinsi sepakat menetapkan 1 (satu) muatan lokal yang sama, koordinasi dan supervisi pengelolaan kurikulum pada pendidikan dasar dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi.
Muatan lokal sebagai bahan kajian yang membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya bermanfaat untuk memberikan bekal sikap, pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik agar:
1. mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya;
2. memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; dan
3. memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
-15-
II. TUJUAN PEDOMAN
Pedoman muatan lokal merupakan acuan bagi satuan pendidikan (guru, kepala sekolah, dan komite sekolah) dalam pengembangan muatan lokal oleh masing- masing satuan pendidikan.
Pedoman muatan lokal ini juga menjadi acuan bagi : (1) Pemerintah daerah provinsi dalam melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah, dan (2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar.
III. PENGGUNA PEDOMAN
Pedoman muatan lokal digunakan bagi:
1. Satuan pendidikan (guru, kepala sekolah, komite sekolah/ madrasah) dalam mengembangkan materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi di sekitarnya.
2. Pemerintah provinsi (dinas pendidikan provinsi, kanwil kementerian agama) dalam melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK).
3. Pemerintah daerah kabupaten/kota (dinas pendidikan kabupaten/ kota, kantor kementerian agama kabupaten/kota) dalam melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).
IV. DEFINISI OPERASIONAL
Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pedoman ini adalah sebagai berikut:
1. Muatan lokal merupakan bahan kajian pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.
2. Pemerintah provinsi adalah gubernur dan berbagai perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.
3. Pemerintah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dan berbagai perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
V. KOMPONEN MUATAN LOKAL
A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup muatan lokal adalah sebagai berikut.
1. Lingkup keadaan dan kebutuhan daerah.
-16-
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan. Kebutuhan daerah tersebut adalah seperti kebutuhan untuk:
a. melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah;
b. meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu sesuai dengan keadaan perekonomian daerah;
c. meningkatkan penguasaan Bahasa Inggris untuk keperluan peserta didik dan untuk mendukung pengembangan potensi daerah, seperti potensi pariwisata; dan
d. meningkatkan kemampuan berwirausaha.
2. Lingkup isi/jenis muatan lokal.
Lingkup isi/jenis muatan lokal dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan potensi daerah yang bersangkutan.
B. Prinsip Pengembangan
Pengembangan muatan lokal untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK perlu memperhatikan beberapa prinsip pengembangan sebagai berikut.
1. Utuh
Pengembangan pendidikan muatan lokal dilakukan berdasarkan pendidikan berbasis kompetensi, kinerja, dan kecakapan hidup.
2. Kontekstual
Pengembangan pendidikan muatan lokal dilakukan berdasarkan budaya, potensi, dan masalah daerah.
3. Terpadu
Pendidikan muatan lokal dipadukan dengan lingkungan satuan pendidikan, termasuk terpadu dengan dunia usaha dan industri.
4. Apresiatif
Hasil-hasil pendidikan muatan lokal dirayakan (dalam bentuk pertunjukkan, lomba-lomba, pemberian penghargaan) di level satuan pendidikan dan daerah.
5. Fleksibel
Jenis muatan lokal yang dipilih oleh satuan pendidikan dan pengaturan waktunya bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi dan karakteristik satuan pendidikan.
6. Pendidikan Sepanjang Hayat
-17-
Pendidikan muatan lokal tidak hanya berorientasi pada hasil belajar, tetapi juga mengupayakan peserta didik untuk belajar secara terus- menerus.
7. Manfaat
Pendidikan muatan lokal berorientasi pada upaya melestarikan dan mengembangkan budaya lokal dalam menghadapi tantangan global.
C. Strategi Pengembangan Muatan Lokal
Terdapat dua strategi dalam pengembangan muatan lokal, yaitu:
1. Dari bawah ke atas (bottom up)
Penyelenggaraan pendidikan muatan lokal dapat dibangun secara bertahap tumbuh di dan dari satuan-satuan pendidikan. Hal ini berarti bahwa satuan pendidikan diberi kewenangan untuk menentukan jenis muatan lokal sesuai dengan hasil analisis konteks. Penentuan jenis muatan lokal kemudian diikuti dengan penyusunan kurikulum yang sesuai dengan identifikasi kebutuhan dan/atau ketersediaan sumber daya pendukung. Jenis muatan lokal yang sudah diselenggarakan satuan pendidikan kemudian dianalisis untuk mencari dan menentukan bahan kajian umum/ besarannya.
2. Dari atas ke bawah (top down)
Pada tahap ini pemerintah daerah) sudah memiliki bahan kajian muatan lokal yang diidentifikasi dari jenis muatan lokal yang diselenggarakan satuan pendidikan di daerahnya. Tim pengembang muatan lokal dapat menganalisis core and content dari jenis muatan lokal secara keseluruhan. Setelah core and content umum ditemukan, maka tim pengembang kurikulum daerah dapat merumuskan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan tentang jenis muatan lokal yang akan diselenggarakan di daerahnya.
VI. MEKANISME PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAAN
A. Tahapan Pengembangan Muatan Lokal
Muatan Lokal dikembangkan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi dan analisis konteks kurikulum.
Identifikasi konteks kurikulum meliputi analisis ciri khas, potensi, keunggulan, kearifan lokal, dan kebutuhan/tuntutan daerah. Metode identifikasi dan analisis disesuaikan dengan kemampuan tim.
2. Menentukan jenis muatan lokal yang akan dikembangkan.
Jenis muatan lokal meliputi empat rumpun muatan lokal yang merupakan persinggungan antara budaya lokal (dimensi sosio-budaya-politik), kewirausahaan, pra-vokasional (dimensi ekonomi), pendidikan lingkungan, dan kekhususan lokal lainnya (dimensi fisik).
-18-
a. Budaya lokal mencakup pandangan-pandangan yang mendasar, nilai-nilai sosial, dan artifak-artifak (material dan perilaku) yang luhur yang bersifat lokal.
b. Kewirausahaan dan pra-vokasional adalah muatan lokal yang mencakup pendidikan yang tertuju pada pengembangan potensi jiwa usaha dan kecakapannya.
c. Pendidikan lingkungan & kekhususan lokal lainnya adalah mata pelajaran muatan lokal yang bertujuan untuk mengenal lingkungan lebih baik, mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan, dan mengembangkan potensi lingkungan.
d. Perpaduan antara budaya lokal, kewirausahaan, pra-vokasional, lingkungan hidup, dan kekhususan lokal lainnya yang dapat menumbuhkan suatu kecakapan hidup.
3. Menentukan bahan kajian muatan lokal
Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan dengan keadaan dan kebutuhan satuan pendidikan. Penentuan bahan kajian muatan lokal didasarkan pada kriteria berikut:
a. kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik;
b. kemampuan guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan;
c. tersedianya sarana dan prasarana;
d. tidak bertentangan dengan agama dan nilai luhur bangsa;
e. tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan;
f. kelayakan yang berkaitan dengan pelaksanaan di satuan pendidikan;
g. karakteristik yang sesuai dengan kondisi dan situasi daerah;
h. komponen analisis kebutuhan muatan lokal (ciri khas, potensi, keunggulan, dan kebutuhan/tuntutan);
i. mengembangkan kompetensi dasar yang mengacu pada kompetensi inti;
j. menyusun silabus muatan lokal.
B. Rambu-Rambu Pengembangan Muatan Lokal
Berikut ini rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam pengembangan muatan lokal:
1. Satuan pendidikan yang mampu mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran muatan lokal. Apabila satuan pendidikan belum mampu mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar beserta silabusnya, maka satuan pendidikan dapat melaksanakan muatan lokal berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh satuan pendidikan, atau dapat meminta bantuan kepada satuan pendidikan terdekat yang masih dalam satu daerahnya. Beberapa satuan pendidikan dalam satu daerah yang belum mampu mengembangkannya dapat meminta bantuan tim pengembang kurikulum daerah atau
-19-
meminta bantuan dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di propinsinya.
2. Bahan kajian disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan sosial peserta didik. Pembelajaran diatur agar tidak memberatkan peserta didik dan tidak mengganggu penguasaan kurikulum nasional. Oleh karena itu, pelaksanaan muatan lokal dihindarkan dari penugasan pekerjaan rumah (PR).
3. Program pengajaran dikembangkan dengan melihat kedekatannya dengan peserta didik yang meliputi kedekatan secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik berarti bahwa terdapat dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik, sedangkan dekat secara psikis berarti bahwa bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh kemampuan berpikir dan mencerna informasi sesuai dengan usia peserta didik. Untuk itu, bahan pengajaran perlu disusun berdasarkan prinsip belajar yaitu: (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu, bahan kajian/pelajaran diharapkan bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
4. Bahan kajian/pelajaran diharapkan dapat memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber. Dalam kaitan dengan sumber belajar, guru diharapkan dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan memanfaatkan potensi di lingkungan satuan pendidikan, misalnya dengan memanfaatkan tanah/kebun satuan pendidikan, meminta bantuan dari instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu, guru diharapkan dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses belajar mengajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.
5. Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik. Namun demikian bahan kajian muatan lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI, atau dari kelas VII sampai dengan kelas IX, atau dari kelas X sampai dengan kelas XII. Bahan kajian muatan lokal juga dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester, dua semester, atau satu tahun ajaran.
6. Alokasi waktu untuk bahan kajian/pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah hari/minggu dan minggu efektif untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.
C. Langkah Pelaksanaan Muatan Lokal
Berikut adalah rambu-rambu pelaksanaan pendidikan muatan lokal di satuan pendidikan:
1. Muatan lokal diajarkan pada setiap jenjang kelas mulai dari tingkat pra satuan pendidikan hingga satuan pendidikan
-20-
menengah. Khusus pada jenjang pra satuan pendidikan, muatan lokal tidak berbentuk sebagai mata pelajaran.
2. Muatan lokal dilaksanakan sebagai mata pelajaran tersendiri dan/atau bahan kajian yang dipadukan ke dalam mata pelajaran lain dan/atau pengembangan diri.
3. Alokasi waktu adalah 2 jam/minggu jika muatan lokal berupa mata pelajaran khusus muatan lokal.
4. Muatan lokal dilaksanakan selama satu semester atau satu tahun atau bahkan selama tiga tahun.
5. Proses pembelajaran muatan lokal mencakup empat aspek (kognitif, afektif, psikomotor, dan action).
6. Penilaian pembelajaran muatan lokal mengutamakan unjuk kerja, produk, dan portofolio.
7. Satuan pendidikan dapat menentukan satu atau lebih jenis bahan kajian mata pelajaran muatan lokal.
8. Penyelenggaraan muatan lokal disesuaikan dengan potensi dan karakteristik satuan pendidikan.
9. Satuan pendidikan yang tidak memiliki tenaga khusus untuk muatan lokal dapat bekerja sama atau menggunakan tenaga dengan pihak lain.
D. Daya Dukung Pelaksanaan Muatan Lokal
Daya dukung pelaksanaan muatan lokal meliputi segala hal yang dianggap perlu dan penting untuk mendukung keterlaksanaan muatan lokal di satuan pendidikan. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan mengenai muatan lokal, guru, sarana dan prasarana, dan manajemen sekolah.
1. Kebijakan Muatan Lokal
Pelaksanaan muatan lokal harus didukung kebijakan, baik pada level pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Kebijakan diperlukan dalam hal:
a. kerja sama dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta;
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya (ahli, peralatan, dana, sarana dan lain-lain); dan
c. penentuan jenis muatan lokal pada level kabupaten/kota/provinsi sebagai muatan lokal wajib pada daerah tertentu. Yang dimaksud daerah tertentu adalah daerah yang memiliki kondisi khusus seperti: rawan konflik, rawan sosial, rawan bencana, dan lain-lain.
2. Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal adalah yang memiliki:
a. kemampuan atau keahlian dan/atau lulusan pada bidang yang relevan;
b. pengalaman melakukan bidang yang diampu; dan
c. minat tinggi terhadap bidang yang diampu.
-21-
Guru muatan lokal dapat berasal dari luar satuan pendidikan, seperti: satuan pendidikan terdekat, tokoh masyarakat, pelaku sosial-budaya, dan lain-lain.
3. Sarana dan Prasarana Sekolah
Kebutuhan sarana dan prasarana muatan lokal harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Jika satuan pendidikan belum mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, maka pemenuhannya dapat dibantu melalui kerja sama dengan pihak tertentu atau bantuan dari pihak lain.
4. Manajemen Sekolah
Untuk memfasilitasi implementasi muatan lokal, kepala sekolah:
a. menugaskan guru, menjadwalkan, dan menyediakan sumber daya secara khusus untuk muatan local;
b. menjaga konsistensi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran umum dan muatan lokal khususnya; dan
c. mencantumkan kegiatan pameran atau sejenisnya dalam kalender akademik satuan pendidikan.
VII. PIHAK YANG TERLIBAT
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan muatan lokal, antara lain :
1. Satuan pendidikan
Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah/madrasah secara bersama-sama mengembangkan materi/ substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi di sekitarnya.
2. Pemerintah provinsi
Gubernur dan dinas pendidikan provinsi melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (SMA dan SMK).
3. Kantor Wilayah Kementerian Agama
melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah (MA dan MAK).
4. Pemerintah Kabupaten/Kota
Bupati/walikota dan dinas pendidikan kabupaten/kota melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (SD dan SMP).
5. Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar (MI dan MTs).
VIII. PENUTUP
Pengembangan dan pelaksanaan muatan lokal di setiap satuan pendidikan harus tetap sinergi dengan pengembangan dan pelaksanaan
-22-
kurikulum setiap satuan pendidik. Dalam pengembangan muatan lokal perlu keterlibatan berbagai unsur, terutama di tingkat satuan pendidikan seperti: guru, kepala sekolah, serta komite sekolah/madrasah. Di sisi lain, pemerintah daerah beserta perangkat daerah yang melaksanakan pemerintahan daerah di bidang pendidikan perlu mendukung dalam bentuk supervisi serta koordinasi sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pada kekhususan jenis muatan lokal, seperti untuk SMK/MAK, berbagai unsur masyarakat baik dari dunia industri maupun asosiasi profesi dapat dilibatkan.

SUPERVISI AKADEMIK

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

SUPERVISI AKADEMIK

A. Pendahuluan

          Salah satu tugas kepala sekolah dasar adalah melaksanakan supervisi akademik. Untuk melaksanakan supervisi akademik secara efektif diperlukan keterampilan konseptual, interpersonal dan teknikal. Oleh sebab itu, setiap kepala sekolah dasar harus memiliki dan menguasai konsep supervisi akademik Karena salah satu dimensi kompetensi yang harus dikuasai kepala sekolah adalah dimensi supervisi akademik. Dari delapan kompetensi pada dimensi akademik yang harus dimiliki kepala sekolah  adalah kompetensi yang berkenaan dengan pemahaman utuh tentang proses belajar dan pembelajaran. Karena kepala sekolah dituntut untuk dapat memberikan pengarahan profesional pada masalah belajar dan pembelajaran yang terjadi di kelas. Hal ini sejalan dengan  Acheron dan Gall (1987) yang mengatakan bahwa tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan interaksi tatap muka dan membangun hubungan antara guru dan pengawas.

            Supervisi akademik merupakan kegiatan pembinaan dengan memberi bantuan teknis kepada guru dalam melaksanakan proses.pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran.  Menurut Blumberg (1980) dan Cogan (1973) peningkatan kualitas pembelajaran guru akan meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Sehingga pembinaan dan pemberian dampingan secara kesinambungan yang dilakukan oleh kepala sekolah akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas yang dilakukan oleh guru dan  akan berdampak pada kualitas hasil belajar peserta didik.

B.  Pengertian Supervisi

              Secara etimologi supervisi berasal dari kata super dan vision yang masing-masing kata itu berarti atas dan penglihatan. Jadi secara etimologis, supervisi berarti penglihatan dari atas. Pengertian ini merupakan arti kiasan yang menggambarkan suatu posisi yang melihat kedudukan lebih tinggi daripada yang  di lihat. Menurut Pidarta (2009) supervisi adalah segala bantuan dari para pimpinan sekolah, yang tertuju kepada perkembangan kepemimpinan guru-guru personel sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Sedangkan menurut Satori (2004) supervisi adalah pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang lebih baik.

              Kata kunci dari pemberian supervisi pada akhirnya ialah memberikan layanan dan bantuan (Suhertian, 2000). Mengacu beberapa pendapat di atas supervisi dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan layanan dan pembinaan yang direncanakan oleh pengawas sekolah  yang dilakukan secara sistematis untuk membantu para guru dan pegawai baik secara individu atau kelompok dalam usaha memperbaiki pembelajaran atau melakukan tugasnya secara efektif.

              Kegiatan supervisi di sekolah dilaksanakan secara menyeluruh meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kurikulum, sarana, prasarana, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Mengingat begitu luas  dan rumitnya kegiatan supervisi maka perlu disusun pedoman pelaksanaannya karena bagaimanapun lengkap sarana, alat-alat, dan guru, bila tidak ada pengadministrasian dan supervisi yang baik tentu tidak akan tercapai tujuan secara efektif dan efisien.

              Adapun pelaksanaan supervisi yang dilakukan pengawas sekolah dapat berupa kunjungan kelas, pertemuan pribadi dan rapat rutin. Kunjungan kelas secara terancana dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang proses belajar mengajar yang dilaksanakan guru. Pertemuan pribadi pada waktu yang telah disepakati anatara sekolah dengan guru untuk memecahkan masalah yang bersifat khusus di laksanakan dengan cara berdialog langsung dengan guru. Sedangakn rapat rutin dimaksudkan untuk membari bantuan secara umum melalui pertemuan secara berkala.

B. Pengertian Supervisi Akademik

            Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaranuntuk mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989, Glickman, et al;2007). Supervisi akademik tidak terlepas dari penilaian kinerja guru dalam mengelola pembelajaran. Sergiovanni (1987) menegaskanbahwa refleksi praktis penilaian kinerja guru dalam supervisi

            Tujuan supervisi akademik adalah (1) membantu guru mengembangkan ompetensinya, (2).mengembangkan kurikulum,dan (3) mengembangkan kelompok kerja guru, dan membimbing penelitian tindakan kelas (PTK).Supervisi akademik merupakan salah satu (fungsi mendasar (essential function) dalam keseluruhan program sekolah. Hasil supervisi akademik berfungsi sebagai sumber informasi bagi pengembanganprofesionalisme guru.

C. Prinsip-Prinsip Supervisi Akademik

              Agar pelaksanaan supervisi akademik berjalan dengan baik maka perlu mengetahui prinsip-prinsinya. Adapun prinsip-prinsip adalah sebagai berikut.

a. Praktis, artinya mudah dikerjakan sesuai kondisi sekolah.

b.Sistematis, artinya dikembangan sesuai perencanaan program  supervisi yang matang dan tujuan pembelajaran.

c. Objektif, artinya masukan sesuai aspek-aspek instrumen.

d. Realistis, artinya berdasarkan kenyataan sebenarnya.

e.Antisipatif, artinya mampu menghadapi masalah-masalah yang mungkin akan terjadi.

f..Konstruktif, artinya mengembangkan kreativitas dan inovasi guru dalam engembangkan proses pembelajaran. gkan kelompok kerja guru, dan membimbing penelitian tindakan kelas (PTK).

g. Kooperatif, artinya ada kerja sama yang baik antara supervisor dan guru dalam mengembangkan pembelajaran.

h. Kekeluargaan, artinya mempertimbangkan saling asah, asih, dan asuh dalam mengembangkan pembelajaran.

i. Demokratis, artinya supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademik.

j. Aktif, artinya guru dan supervisor harus aktif berpartisipasi.

k.Humanis, artinya mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor.

l. Berkesinambungan (supervisi akademik dilakukan secara teratur dan berkelanjutan oleh Kepala SD

      m. Terpadu, artinya menyatu dengan dengan program pendidikan.

n. Komprehensif, artinya memenuhi ketiga tujuan supervisi akademik di atas.

             Sedangkan runah lingkup supervisi akademik Ruang lingkup meliputi (1) . pelaksanaan KTSP, (2) persiapan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran oleh guru.(3) pencapaian standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan peraturan pelaksanaannya., dan (4) peningkatan mutu pembelajaran melalui pengembangan sebagai berikut:

           Supervisi akademik juga mencakup buku kurikulum, kegiatan belajar mengajar dan pelaksanaan bimbingan dan konseling.Supervisi edukatif tidak kalah pentingnya dibanding dengansupervisi administratif. Sasaran utama supervisi edukatif adalah proses belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan mutu proses dan mutu hasil pembelajaran. Variabel yang mempengaruhi prosespembelajaran antara lain guru, siswa, kurikulum, alat dan bukupelajaran serta kondisi lingkungan dan fisik. Oleh sebab itu, fokus utama supervisi edukatif adalah usaha-usaha yang sifatnya memberikan kesempatan kepada guru untuk berkembang secara profesional sehingga mampu melaksanakan tugas pokoknya, yaitu: memperbaiki dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran.

             Sasaran utama supervisi akademik adalah kemampuankemampuan guru dalam merencanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layananpembelajaran, menciptakan lingkungan belajar yangmenyenangkan, memanfaatkan sumber belajar yang tersedia, dan mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode, teknik) yang tepat. Supervisi edukatif juga harus didukung oleh instrumeninstrumen yang sesuai

             Pada umumnya supervisi pendidikan lebih tertuju kepada supervisi kelas. Supervisi  tersebut cenderung mengutamakan kegiatan kunjungan kelas untuk mengobservasi pembelajaran di kelas.Menurut Pidarta(2009)  ada berbagai macam jenis supervisi, yaitu: (1) supervisi umum dan supervisi pengajaran Supervisi yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan atau pekerjaan secara tidak langsung berhubung dengan usaha perbaikan pengajaran seperti supervisi terhadap kegiatan pengelolaan bangunan dan perlengkapan sekolah atau kantor-kantor pendidikan, supervisi terhadap kegiatan pengelolaan administrator kantor, supervisi pengelolaan keuangan sekolah atau kantor pendidikan.

            Sedangkan supervisi pengajaran adalah kegiatan-kegiatan kepengawasan yang ditunjukan untuk memperbaiki kondisi-kondisi, baik personil maupun material, yang memungkinkan terciptanya situasi belajar mengajar yang lebih baik demi terciptanya tujuan pendidikan, (2) supervisi klinis yaitu supervisi yang  prosedur pelaksanaannya lebih ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi di dalam proses belajar mengajar, dan kemudian secara langsung pula diusahankan bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut.Supervise klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesionali guru/calon guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar, (3) pengawasan melekat dan pengawasan fungsional 

              Tujuan pengawasan melekat ialah untuk mengetahui apakah pimpinan unit kerja dapat menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian yang melekat padanya dengan baik sehingga apabila ada penyelewengan, pemborosan, korupsi, pimpinan unit kerja dapat mengambil tindakan koreksi sedini mungkin. Sedangakn pengawasan fungsional adalah kegiatan-kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang yang fungsi jabatannya sebagai pengawas, dan (4) supervisi artistik yaitu supervisi yang mengembangkan model artistik akan mampak dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya sehingga para guru merasa diterima. Sikap seperti mau belajar mendengarkan perasaan orang lain, mengerti orang lain dengan problem-problem yang dikemukakan, menerima orang lain sebagaimana adanya, sehingga orang dapat mejadi dirinya sendiri

           Dari beberapa jenis supervisi di atas, supervisi klinis merupakan supervisi yang permasalahan yang di alami guru dalam pembelajaran dapat diidentifikasi sedini mungkin oleh pengawas sehingga dapat dirumuskan seperangkat antisipasi aktif untuk meningkatkan kinerja guru.

D. Supervisi Klinis

            Agar berbagai program yang diimplementasikan di sekolah dapat berkualitas sesuai dengan standar yang diharapkan, yaitu efektif, efisien, relevan, serta kontributif terhadap kehidupan lulusan di masa depan, maka perlu dilaksanakan monitoring dan evaluasi. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk mengungkap keterlaksanaan program tersebut di sekolah, tetapi juga membantu sekolah untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program. Supervisi yang bersifat klinis, dilakukan dengan  maksud untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di dalam kelas dan sekolah dan kemudian menyusun alternatif pemecahannya berdasarkan hasil supervisi klinis.

             Supervisi klinis merupakan layanan profesional dari pihak yang berkompeten dalam bidangnya (dalam hal ini pengawas sekolah), sehingga dapat membuat guru dan sekolah mampu memecahkan problem yang dihadapi. Arti supervisi klinis merupakan bentuk bimbingan profesional yang diberikan kepada guru dan pihak sekolah berdasarkan kebutuhannya melalui siklus yang sistematis. Makna yang terkandung dalam istilah klinis merujuk pada unsur-unsur khusus, yaitu: (a) adanya hubungan tatap muka antara supervisor dan guru di dalam kegiatan supervisi, (b) terfokus pada tingkah laku yang sebenarnya di dalam proses supervisi, (c) adanya observasi dan wawancara secara cermat, (d) deskripsi data secara rinci, (e) supervisor dan guru/sekolah bersama-sama menilai penampilan guru atau kinerja sekolah, (f) fokus sesuai dengan kebutuhan guru atau sekolah. Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut (1) perbaikan dalam program sekolah mengharuskan unsur-unsur sekolah untuk mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan keterampilan tersebut, (2) fungsi utama supervisor adalah mengajar keterampilan-keterampilan yang seharusnya dimiliki sebagai seorang guru, kepala sekolah serta unsur-unsur terkait di sekolah, (3) siklus dalam merencanakan, melaksanakan dan menganalisis program sekolah merupakan suatu kontinuitas dan dibangun atas dasar pengalaman masa lampau, (4) supervisi klinis merupakan proses memberi dan menerima informasi yang dinamis dimana supervisor, guru serta unsur-unsur terkait di sekolah, merupakan teman sejawat di dalam mencari pemahaman bersama mengenai proses pendidikan, (5) proses supervisi klinis terutama berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya program, (6) setiap guru dan sekolah serta unsur terkait di sekolah mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk mengemukakan pokok persoalan, menganalisis cara mengajarnya sendiri dan mengembangkan gaya mengajarnya, dan (7) supervisor mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk menganalisis dan mengevaluasi yang dilakukan dengan cara yang sama seperti ketika menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan program di sekolah. Oleh karena itu, kegiatan supervisi klinis yang bersifat menyeluruh terhadap seluruh program yang dijalankan di sekolah terkait dengan upaya peningkatan mutu proses pembelajaran perlu dilakukan.

E.Tujuan dan Prosedur Supervisi Klinis

Menurut Acheson dan Gall (1997) tujuan supervisi klinis adalah mengingatkan pengajaran guru di kelas. Tujuan ini di rinci lagi kedalam tujuan yang lebih spesifik, yakni: (1) menyediakan umpan balik yang objektif terhadap guru, mengenai pengajaran yang dilaksanakannya, (2) mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah pengajaran, (3) membantu guru mengembangkan keterampilannya menggunakan strategi pengajaran, (4) mengevaluasi guruuntuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya, dan (5) membantu guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan professional yang berkesiambungan.

         Prosedur supervisi klinis berlangsung dalam suatu proses berbentuk siklus terdiri dari tiga tahap yaitu (1) tahap pertemuan awal, (2) tahap pengamatan (observasi), dan (3) tahap pertemuan balikan. Pada tahap pertemuan awal , supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana tentang materi observasi yang akan dilaksanakan.                

          Pada tahap berikutnya guru melatih kemampuan mengajar berdasarkan aspek keterampilan yang telah disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Supervisor mengamati dan mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa. Sebelum tahap pertemuan balikan dilaksanakan, supervisor mengadakan analisis pendahuluan terhadap rekaman observasi yang dibuat.

             Supervisor harus mengusahakan data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretasikan secara kooperatif dengan guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar. Hal ini perlu sebagai rujukan dan pedoman terhadap proses pembinaan dan peningkatan kemampuan profesionalisme guru selanjutnya dalam bidang tersebut.

            Dalam proses pengkajian terhadap berbagai cara pemecahan yang mungkin dilakukan, setiap alternatif pemecahan dipelajari kemungkinan keterlaksanaannya dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor peluang yang dimiliki seperti fasilitas dan kendala yang mungkin dihadapi. Alternatif pemecahan masalah yang terbaik adalah alternatif yang paling mungkin dilakukan, dalam arti lebih banyak faktor-faktor pendukungnya dibandingkan dengan kendala yang dihadapi selain memiliki nilai tambah yang paling besar bagi pengingkatan mutu proses dan hasil belajar siswa.

 F. Penutup   

              Tidak satupun di antara teknik-teknik supervisi yang paling baik dan cocok atau bisa diterapkan untuk semua pembinaan guru di sekolah. Oleh sebab itu, seorang kepala sekolahharus mampu menetapkan teknik-teknik mana yang sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran seorang guru. Untuk menetapkan teknik-teknik supervisi akademik yang tepat tidaklah mudah.

             Seorang kepala sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, juga harus mengetahui karakteristiksetiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian guru sehingga teknik yang digunakan betul-betul sesuai dengan guru yang sedang dibina melalui supervisi akademik

 

DAFTAR PUSTAKA

 

   Acheson, K. A., & Gall, M. D. (1997). Techniques in the clinical supervision of the  teachers: Preservice and inservice applications (4th ed.). White  Palins, NY:  Longman.

    Bell-Gredler,M.E. 1996.Learning and Instruction. New York:Macmillan  Publishing.

    Blumberg, A.(1980).Supervisiors and teachers : A private cold war (2nd ed) Berkeley,  CA : McCutchan

    Cogan,M.(1973). Clinical supervision. Boston : Houghton-Mifflin.practices for helping teachers. New York: Holt, Rinehart and Winston

 Glickman, C.D., Gordon, S.P., and Ross-Gordon, J.M. 2007. Supervisionand Instructional Leadership A Development Approach. Seventh Edition. Boston: Perason.

 Gwynn, J.M. 1961. Theory and Practice of Supervision. New York: Dodd,Mead & Company.

     Pidarta, Made .2009 . Supervisi Pendidikan Kontekstual .PT. Rineka Cipta: Jakarta

  Robbins, S.P.2008. The Truth about Managing People. Second Edition. Upper Sadle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.

  Satori,Djam’an ,2004.Paradigma Baru Supervisi Pendidikan untuk Meningkatkan Mutu dalam Konteks Peranan Pengawas Sekolah dalam otonomi Daerah.ASPI : Jabar

  Sergiovanni, T.J. 1982. Supervision of Teaching. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

  Sullivan, S. & Glanz, J. 2005. Supervision that Improving Teaching Strategies and Techniques. Thousand Oaks, California: Corwin Press.

TEORI-TEORI STRUKTURALISME

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

TEORI-TEORI STRUKTURALISME

1. Pendahuluan

Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik, strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi.

 

2.Pengertian Strukturalisme

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme  antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi.

Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme.

Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema, 1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa

Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori adalah alat, kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain.

Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

A.   Prinsip-prinsip Antarhubungan

Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya.

Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta sosial, buka totalitas benda. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilai-nilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177),  variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antar hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi, melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realitas sosial. Karya tidak dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.

Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori poststrukturalisme, baik sebagai negasi maupun afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubungan dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik, misalnya, salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frekuensi pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca.

Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setiap orang mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalam ruang maupun waktu. Perubahan status perana disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi pembaca, yang mengubah crita sehingga menyerupai kehidupan, dalam bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya antarhubungan merupakan indikator penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.

Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan interistik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan, sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar antarhubungan yang kedua.

Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer menghantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai kehidupan secara keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola, sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut Poloma (1987: 23-26), asal usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte dengan konsep masyarakat sebagai struktur dan fungsi, masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain. Konsep Durkheim kemudian dilanjutkan juga oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.

B.   Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.

Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.

Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.

Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant (1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia. Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan penegrtian, di pihak yang lain juga menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7) menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma Schleiermacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melaui hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sama, yaitu teks. Struktur tes yang berlapis-lapis  dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna dari hermeneutika. Dalam bidang antropologi budaya yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas dan integrasi sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem, dalam struktur sosial. Paradigma baru dari ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang lahir di Swis (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul Cours de linguistque generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme, menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, makna hanya dapat dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya yang sangat pesat, bahkan juga sesudah menjadi poststrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri tersendiri, yang dipelopori oleh Clude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J Greimas, Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya. Melalui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke disiplin lain, seperti Antropologi (Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derida (filsafat).

Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dengan kaitanya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karaya satra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, olehkarena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed, 1993: 53). Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikanteks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Oleh karena itulah, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern.

Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa model-model pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (Cekoslovakia), melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik formalisme Praha ini, maka formalisme pada umumnya dianggap sudah  menjadi strukturalisme,. Oleh karena situsi politik yang terus berlanjut, yaitu sebagai campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940-an meninggalkan Cekoslovakia dan pergi ke Amerika, yang sekaligus melairkan mazhab Kritik Baru.

Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berfikir liannya, tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya.

Konsep struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern sesudah melalui perkembangan formalisme di atas. Melalui perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun demikian, persamaan pokok yang ditunjukan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk totalitas, kaitan secara fungsional  antara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam.

Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) paroie (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan kesejarahannya). Saussure (Gertz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem (langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkannilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althusser), psikoanalisis (Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genete).

Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intristik antara bahasa  sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi, isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri.

Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis, oleh karena itu fabula disebut juga konstituten plot. Sjuzet mengorganisasikan keseluruhan kejadian kedalam struktur penceritaan. Dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi yang defamiliarisasi. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi (pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif, defamiliarisasi biasanya diperoleh mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan kejadian. Otomatisasi mirip dengan reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-107) dan ada sesejajaran denga estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses pengasingan secara terus-menerus.

Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara megeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mngarahkan pada paradigma baru, karya tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perngkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya sebagaiimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme. Formalisme memiliki dampak atas strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian Todorov, Roland Barthes, dan Gerarld Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow, termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij.

Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsep-konsep yang relevan dalam analisis novel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya keseluruhan unsur fikis dimanifestasikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah terlihat untuk pertama kali.

C.   Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraanya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Perubahan paradigma yang sangat mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas pada karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalime Praha (1930-an), Kritik baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an).

Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek, 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai iperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmu yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang etimologi, sebagai sistem tertentu denga mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu pulalah, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti itu merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme , khususnya dalam dekonstruksi.

Seperti dijelaskan diatas, secara definitif srtukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus revolusi. Perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Saussure dalam menjelaskan bahasa, di mana bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem, sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jaques Lacan, J. Greimas, dan Jean Piaget. Sebagaian dari mereka memasuki era baru dalam teori postsrukturalis.

Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah, melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih banyak bergerak sebagai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai perkembangan kemudia dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167), asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim. Sejajar dengan penjelasannya mengenai hakikat suatu masyarakat, totalitas yang tediri atas kesadaran kolektif, maka pikiran pun terdiri atas cetakan-cetakan yang memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengan isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di baliknya. Berbeda dengan paradigma sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat dibentuk oleh individu, sebaliknya, menurut Durkheim, justru individulah yang dibentuk masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, naka dalam strukturalisme, unsur memiliki arti hanya  dalam totalitasnya.

Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scheles, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988: 53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addesse, context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, reverential, poetic, phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannyadengan pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. buku tersebut merupakan perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.(1) Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religius),(2)Aspek Intristik

Elemen-elemen cipta sastra (a)insiden, (b)plot, (c) karakterisasi,(d)teknik cerita,(e) komposisi cerita, dan (f) gaya bahasa.

D.   Teori Semiotika

Secara definitif, menurut Paul Cobley (2002) Semiotika berasal dari kata seme,bahasa Yunani yang artinya penafsir tanda.Literatur lain semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang luas sebagai teori semeotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interprestasi tanda, bagaimana cara kerjanya,apa manfaatnya  terhadapa kehidupan manusia . Kehidupan manusi dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efesien,dengan perantaran tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi  degan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours d Linguistique Generale, yang terbit tahun 1916 dianggap sebagai asal-muasal teori strukturalisme sekaligus sebagai teori bahasa,yaitu linguistik sebagai bagian integral teori komunikasi dan keseluruhan  hubungan sosial.Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda,sebagai diadik, maka konsep Peirce bersisi tiga sebagai triadik.Diadik Saussure ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal,sedangkan triadik ditandai oleh dinamisme internal..Dilihat dari cara kerjanya , maka terdapat (a) semiotika sintaksis yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain.(b)semantik semiotika,studi yang memberikan perhatian  hubungan tanda dengan acuannya , dan (c) pragmatik semiotika, yaitu studi yang memberikan perhatian antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan tanda, maka tanda dibedakan menjadi (1) representamen,ground tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum qualisigns (terbentuk oleh kualitas),sinsigns (terbentuk melalui realitas fisik),dan (c) legisigns types (berupa hukum). (2) object( designatum,denotatum,referent) yaitu apa yang diacu: ikon hubungan antara tanda dengan obyek karena serupa,indeks hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, simbol adalah hubungan tanda dengan obyek karena kesepakatan, (3) interpretan yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima seperti : rheme tanda sebagai kemungkinan (konsep),dicisigns,dicent signs tanda sebagai fakta(pernyataan deskripsi), argument tanda tampak sebagai nalar(proposisi). Diantara representament,obyect, dan interpretant yang paling banyak diulas adalah obyect.   

3. Impilikasi Strukturalisme dalam Pembelajaran Sastra

Dalam strukturalisme bahwa sastra merupakan suatu konstruk yang dapat dianalisis dan bukannya produk inspirasi yang keramat. Strukturalisme membuat sebuah mekanisme sastra yang aksesibel bagi semuanya, termasuk bagi para siswa. Konvensi literer atau kode dapat dibuat eksplisit dan dapat dipikirkan. Semua siswa sudah dapat menginternalisasikan banyak kode dan oleh tanda itu, mereka memiliki kompetensi literer yang potensial. Akan tetapi, yang mereka miliki sering tidak dimanfaatkan karena mereka tidak tahu bahwa mereka memilikinya, atau tidak tahu cara menggunakanya. Sebab sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk membantunya agar mereka menyadari hal itu. Di samping itu, kita juga bertanggung jawab untuk mengajari mereka sesuatu yang lain, sehingga mereka dapat mengendalikan dan menggunakanya guna mencapai tujuan-tujuan mereka dalam membaca dan menulis.

Pengajaran kita seharusnyabertujuan memberikan kepada siswa suatu penguasaan keterampilan dan konvensi-konvensi membaca dan menulis, dan bukanya mengajarkan eksplisikasi  teks khusus secara autoritatif. Penyususn cerita dan puisi sendiri, membuat siswa lebih sadar bahwa puisi dan cerita orang lain merupakan konstruk,produk pilihan dan mekanisme linguistik yang dimanipulasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penulisnya.

Dalam strukturalisme bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan melalui refleksi bahasa, melainkan dihasilkan oleh bahasa, strukturalisme  menghancurkan mitos mengenai  teks sastra kaum realis-ekspresif, yaqitu mitos bahawa teks sastra merupakan jendela kebenaran.Walaupun demikian,penolakan terhadap realitas dan intensi-intensi manusia di luar bahasa merupakan sesuatu yang bersifat reduktif dan over-deterministic.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Hartoko.Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, PT.Gramedia: Jakarta

2. Kutha.R.Nyoman ,2004, Teori dan Metode, dan Praktik Penelitian Sastra

                   .Pustaka Pelajar : Jogjakarta.

3. Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Satra, Teori pengantar Sastra .Pustaka

                    Jaya : Jakarta

4. Wellek,Rene,dan Austin Warren. 1992.Theory of Leterature, A Harvest

                    Book Harcourt,Barce & Word,Inc: New York

 

ALIRAN STRUKTURALISME DI AMERIKA (linguistik)

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

ALIRAN STRUKTURALISME DI AMERIKA

 

A.                Pendahualuan

            Pada permulaan abad XX, Ferdinand de Saussure muncul dengan pandangan – pandangan barunya yang membahas bahasa secara sinkronik. Dialah yang mula pertama membangun suatu ilmu bahasa baru di Eropa yang kemudian dikenal dengan nama Linguistik Struktural. Ilmu ini segera tersebar keseluruh Eropa, termasuk ke benua Amerika. Perkembangan lingfusitrik strukturtal di Amerika dipelopori oleh para linguis besar dizamannya, antara lain seperti Franz Boas, Edward Sapir, dan leonard Bloomfield. Franz Boas dan Edward Sapir memiliki latar belakang disiplin ilmu yang sama yaitu Antropologi. Tidak heran kalau paparan kajiannya dalan ilmu bahasa -ilmu yang ditekuninya kemudian- sangat berpengaruh oleh ilmu dasar yang dimilikinya. Keduanya tertarik pada kajian ilmu bahasa karena menurut penilaiannya diantara aspek – aspek kebudayaan yang dapat dipelajarai dengan baik, bahasa merupakan salah satu aspek yang dapat merefleksikan kebudayaan manusia dengan jelas. Mereka melakukan banyak kajian dan penelitian-penelitian tentang bahasa-bahasa Indian di Amerika. Hasil penelitian Boas mulai ditertibkan pada tahun 1911 dengan judul Handbook of Americn Indian Languages. Dalam pendahuluan buku itu Boas mengutarakan uraiannya tentang penyelidikanbahasa, yang merupakan ancangan deskripsi dalam penyediaan bahasa.

            Edwar Sapir (1884-1939) sebagai murid Franz Boas (1858-1942), malah lebih melebarkan bidang penelitiannya tidak hanya pada bahasa Indian, melainkan juga pada bahasa – bahasa  Indo-Eropa, Afrika, Semit, Tibet, Sinit, dan bahasa-bahasa lainnya.

            Kedua linguis besar itu menyebarkan terus pengeruhnya baik melalui tulisan-tulisannya maupun melalui ajaran-ajarannya. Pengarus Boas dan Sapir dapat pula terlihat pada Kenneth Lee Pike, seorang ahli bahasa ulung Amerika yang ikut mendirikan dan mengembangkan Summer Institut Of Linguistics di amerika Serikat yang sampai sekarang berjalan dengan lancar.

            Leonard Bloomfield (1887-1949), salah seorang diantara ahli-ahli  bahasa di Amerika Serikat yang sangat besar jasanya menyebarkan prinsip-prinsip dan metode linguistik struktural di Amerika Serikat. Dalam Menyebarkan pengaruhnya, ia agak berbeda dari dua orang pelopor aliran strukturalisme Amerika yang terdahulu (F. Boas dan Sapir). Pengaruhnya jauh lebih banyak tersebar melalui tulisan-tulisannya dibanding dengan melalui ajaran-ajaran yang dilakukannya. Dalam kegiatan-kegiatannya, ia sangat berkeinginan mengilmiahkan linguistik, dan keinginan inilah yang membawanya masuk ke kelompok empirisme, khususnya psikologi behaviorisme. Pengaruh Bloomfield banyak tersebar ke para linguis Amerika lainnya seperti Bernard Bloch, George L. Trager, Carles C. Fries, dan lain-lain.

            Pada tahun 1933, Bloomfield menerbitkan bukunya yang berjudul “Language”. Sejak itu pula lingistik semakin berkenbang dengan pesat. Didalam buku itu temuat konstruksi-konstruksi teorinya yang terkenal antara lain teori Fonem dan Marfem, pemisahan tahap Analitik (Aanalitic Levels) untuk subkomponen fonemik, morfemik,dan sintaktik, penemuan konsep relativitas linguistik dari berbagai bahasa – bahasa   non-indo-Eropa, penerapan konsep teorik pada pengajaran bahasa, dan lain sebagainya, telah membuat linguistik struktural sebagai ilmu yang sangat ampuh (Staruss, 1953 : 35;-351). Akan tetapi bagaimanapun juga, kecemerlangan linguistik struktural di Amerika tidak dapat dilepaskan dari jasa-jasa dua linguis besar sebelumnya yaitu Franz Boas dan Edwar Sapir, yang telah merintis jalan dengan cara dan kelebihannya masing-masing.

B.                 Franz Boas (1858-1945)

            Franz Boas memulai karir akademinya sebagai seorang mahasisiwa ilmu Fisika dan Geografi, dan lewat disiplin ilmunya yang kedua itulahyang mengantarkannya ke ilmu berikutnya yaitu Antropologi. Selanjutnya melalui ilmu antropologi yang ditekuninya ia mulai berkenalan dengan penyelidikan – penyelidikan bahasa. Disanalah ia menemukan pokok – pokok pikiran baru yang mulai pertama diperolehnya dalam pengembaraannya ke negeri Baffin (1883 – 1884) bahwa kebudayaan masyarakat itu tidaklah semata – mata berfungsi materi, dan bahwa ilmu – ilmu sosial (human Science) sangat jelas bedanya dengan ilmu fisika, baik isinya maupun metodenya. Sejak itulah ia sangat tertarik pada ilmu – ilmu sosial, utamanya pada ilmu bahasa. Menurut pendapatnya, diantara aspek – aspek kebudayaan yang dapat dipelajarai dengan baik, bahasa merupakan sarana yang sangat tepat untuk mempelajarai kebudayaan itu dengan jelas. Sesudah mengajar beberapa lamanya di Berlin. pada tahun 1880 ia pun pindah ke Amerika. Di sanalah ia mengkhususkan penelitiannya pada bahasa – bahasa Indian di Amerika Utara dan sekaligus mendirikan sebuah sekolah penelitian linguistik yang besar dan produktif  dibawah naungan Smithsonian Institution. Pada tahun 1911, hasil –hasil penelitiannya diterbitkan dalam judul Handbook of American Indian Languages.  Di dalam bukunya ia mengutarakan uraiannya tentang penyelidikan bahasa, yang merupakan ancangan deskriptif dalam penyelidikan bahasa (Sampson, 1980 : 58)

            Boas dan teman – temannya, disampin g memiliki pengetahuan tentang bahasa – bahasa di luar bahasa Indo – Eropa. Mereka memberikan perhatian yang besar pada penguraian struktur bahasa – bahasa Indian oleh sebab itu mereka disebut juga golongan deskriptif. Kaum deskriftif ini berusaha keras membangun teori – teori bahasa yang abstrak yang bersifat umum berdasarkan hasil – hasil penelitian yang dilakukannya.

            Boas  adalah seorang linguis yang otodidak (self – taught linguist) yang murni yang telah memberikan banyak andil pada penelitian bahasa – bahasa Indian Amerika, yang juga dengan hasil penelitiannya itu dapat menghilangkan anggapan salah yang mengatakan bahwa sifat dasar bahasa itu asalnya dari bahasa Eropa. Masalah ini dianggap penting karena pada masa – masa permulaan karir Boas, hasil – hasil penelitiannya banyak ditolak oleh para linguis ortodoks. Ciri khas sekolah linguistik yang didirikannya ialah faham relativismenya terhadap bahasa. Menurut Boas, tidak ada suatu bahasa yang merupakan ideal yang merupakan ukuran bahasa – bahasa lainnya. Bahasa manusia itu berubah – ubah terus dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya. Namun menurut Boas, sekelompok pemakai bahasa tertentu tidak berhak mengatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh kelompok lainnya tidak rasional, karena penilaian yang demikian itu tidak ada dasarnya. Demikian pula bagi bangsa – bangsa Barat yang mungkin telah maju tingkat teknologinya, tetap tidak berhak berkata bahwa bahasa mereka telah lebih maju dan bahasa bangsa – bangsa lain masih primitif. Yang benar -menurut Boas- ialah bahwa pada setiap bahasa terdapat  kategori – kategori logis tertentu yang merupakan keharusan digunakan pada bahasa tersebut. Umpama pada bahasa Kwakiutl (bahasa British Columbia), ada keharusan menggunakan infleksi penanda “kepunyaan” pada setiap kata. Jadi seseorang hanya dapat berkata “cintaku” (my love); atau “cintanya” (his love) dan tidak boleh “cinta” saja. Dalam bahasa Inggris, perbedaan bentuk tunggal (singular) dan jamak (plural), termasuk salah satu obligatory categories (kategori wajib). Dan tentu saja kita tidak boleh berkata bahwa kategor – kategori wajib yang terdapat pada bahasa – bahasa eropa lebih penting dari pada kategori – kategori wajib yang terdapat pada bahasa – bahasa lain.

            Dalam membicarakan masalah fonetik, Boas mengikuti pendekatan yang digunakan oleh de Saussure yaitu pendekatan yang berhubungan dengan sifat – sifat dasar sistematik bunyi bahasa.

            Sesungguhnya jumlah bunyi yang dapat diciptakan tidak terbatas, akan tetapi penutur suatu bahasa memilih sejumlah tertentu saja bunyi yang diperlukannya sesuai yang digunakan oleh bahasanya. Namun suatu bunyi yang terdapat pada dua bahasa, katakanlah bunyi / p /, yang terdapat pada bahasa A dab bahasa B. Bunyi / p / yang diucapkan oleh penutur bahasa A akan berbeda apabila bunyi itu diucapkan oleh penutur bahasa B, walaupun cara memproduksikan bunyi itu sama. Begitu pulalah yang terjadi pada bahsa – bahasa Eropa, seperti bahasa Jerman, Inggris, Perancis atau bahkan pada beberapa dialek dari suatu bahasa. Sejumlah bunyi yang dihasilkan dengan cara yang sama, akan tetapi oleh penutur bahasa yang berbeda, bunyi yang tercipta tetap terdapat perbedaan yang disebabkan oleh pengaruh bunyi – bunyi lainnya yang terdapat pada masing – masing bahasa penutur tersebut. Bunyi / t / yang diucapkan oleh seorang penutur bahasa inggris, tidak akan sama kalau bunyi / t / itu diucapkan oelh seorang penutur bahasa Jawa. Itulah fakta yang jelas yang berhubungan dengan fonetik tuturan manusia, bahwa setiap bahasa mempunyai kelompok – kelompok bunyi yang tertentu dan terbbatas, dan jumlah kelompok – kelompok bunyiitupun tidak pernah terlalu besar dalam bahasa manapun.

            Bagi Boas, bahasa hanyalah merupakan tuturan artikulasi, yakni komunikasi dengan menggunakan oleh kelompok – kelompok bunyi yang dihasilkan oleh alat – alat artikulasi.

1. Kategori Gramatikal

            Setiap bahasa memiliki sistem gramatikal dan sistem fonetik masing – masing. Dari keseluruhan urutan fonetik yang ada, tiap bahasa hanya menggunakan sebagian terbatas, disesuaikan dengan yang ingin diungkapkannya. Pemilihan makna, sama ragam dan sifat kemandiriannya dengan sifat kemandirian fonetik itu sendiri. Hal itu berarti bahwa jumlah makna yang diungkapkan oleh kelompok fonetik tertentu, terbatas. Kelompok makna yang terkandung oleh kelompok fonetik tertentu berbeda pula pada setiap bahasa, dan makna itu tidak akan cocok dengan klasifikasi prinsip yang sama. Kita dapat mengambil contoh kaata ”air”, kata itu dapat bermakna air di sumur, atau air minum di gelas, ataukah air sungai. Singkatnya, sebuah kata akan menimbulkan pengertian yang bermacam – macam selama kata itu tidak diletakkan dalam konteks kalimat. itulah sebabnya Boas menyimpulkan bahwa unit dasar bahasa (termasuk makna) adalah kalimat, bukan kata.

2. Pronomia Kata Ganti

            Menurut Boas, klasifikasi kata ganti (pronouns) itu tidak tetap, oleh karena itu tidak menyelesaikan kemungkinan – kemungkinan logisyang melekat pada pengertian orang (person). Logikanya, ketiga macam orang (orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga) yang menjadi kata ganti diri, didasarkan pada konsep diri sendiri (self) dan nondiri (non self); kata ganti nondiri sendiri dibagi lagi menjadi dua bagian menurut kebutuhan tuturan yaitu orang yang diajak berbicara dan orang yang dibicarakan. Kalau kita berbicara –kata Boas- tentang orang pertama jamak, yang dimaksudkan ialah diri sendiri dan orang – orang yang diajak berbicara atau diri sendiri dan orang atau atau orang – orang yang dibicarakan; atau diri sendiri, orang atau orang – orang yang diajak bicara dan orang atau orang – orang yang dibicarakan.

Contoh: ”Kita orang – orang Indonesia termasuk orang – orang yang sabar”.

Kalimat diatas dapat mengandung makna orang yang berbicara, orang yang diajak bicara, dan mungkin pula orang – orang Indonesia lainnya selain pembicara dan orang – orang yang diajak berbicara. Menurut Boas, orang pertama jamak yang sebenarnya, tidak mungkin ada, oleh karena tidak akan pernah ada orang yang lebih dari satu  badannya.

3. Verb (kata kerja)

            Menurut Boas, kategori verbal dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti person (orang), number (jumlah), tense (kala), mood, dan voice, sifatnya semau – mau (arbitrary) dan berkembang tidak merata pada berbagai bahasa di sana. Kalimat seperti: ”The man is sick”, tidak eksplisit        dan tidak berkecil – kecil. Tetapi kalau dilihat pada bahasa lain, dapat lebih eksplisit dan berkecil – kecil karena kalimat itu biasa berarti ”The singgle definite man is sick at the present time” (seseorang yang tertentu sakit sekarang). Kalau dalam bahasa eskimo, kalimat diatas hanya akan berbunyi ”Singgle man sick” karena bentuk gramatikalnya tidak memerlukan ”tense” (kala) (Francis P. Dinneen S.J. 1967 : 218 ).

            Boas menyimpulkan bahwa seharusnya pada pemerian suatu bahasa tertentu, yang pertama harus diperhatikan ialah  ”bagaimana sesuatu itu dinyatakan menurut morfologi bahasa itu” dan bukan ”bagaimana kemungkinan sesuatu itu diucapkan dalam bahasa itu”. Inilah kritik Boas yang sangat mendasar terhadap tatabahasawan tradisional yang ingin memaksakan kerangka bahasa Indo-Eropa terhadap bahasa – bahasa lainnya.

C.                Edwar Sapir (1884 – 1939)  

            Edwar Sapir adalah seorang Yahudi Jerman, mulai berdiam di Amerika Serikat ketika ia berumur 5 tahun (1889). Ia belajar di Universitas Columbia, dengan Fisiologi bahasa Jerman sebagai mata kuliah utamanya. Pengaruh Boas sangat besar terhadap dirinya sehingga iapun tertarik pada Linguistik dan Antropologi. Tahun 1904 ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Boas di Amerika Serikat. Pada waktu itu is sedang mengikuti program Master di Universitas dimana ia belajar. Pertemuan itu memberi keyakinan besar pada dirinya bahwa ia telah memperoleh apa yang ingin dipelajarinya. Sebagai hasil dari pertemuan itu, iapun segera melakukan pemerian tentang bahasa – bahasa Indian dengan menggunakan metode Boas. Itulah pengalaman pertama baginya sekaligus merupakan perpisahan yang radikal dari praktek – praktek tradisional yang selalu mencoba memaksakan kategori gramatikal b ahasa – bahasa Indo-Eropa terhadap bahasa – bahasa lainnya.

            Selama karirnya ia banyak menerbit artikel – artikel mengenai aspek – aspek lingustik bahasa – bahasa Indo-Eropa, bahasa – bahasa klasik Cina, Gweabo, dan juga bahasa – bahasa Afrika. Penelitian utamanya adalah tentang bahasa – bahasa Indian America. Diselidikinya juga bahasa – bahasa Semit, Sinotibet khususnya Utp Asteb, Nadean dan pengaruh bahasa Tibet pada bahasa Tochari, hubungan antara bahasa Sinit dan bahasa – bahasa Indian.

            Disamping perhatiannya yang besar terhadap penelitian ilmu – ilmu bahasa, iapun termasuk seorang sastrawan, musisi dan kritikus yang tajam. Ia banyak menulis kritik – kritik di bidang seni dan bidang – bidang lainnya (F.P. Dinnen,1967 : 220);

            Segala karyanya ditulis dalam bukunya yang berjudul ”Language” (1921). Konsepsinya terhadap bahasa dapat ditelusuri dalam batasan yang dibuatnya mengenai bahasa. Ia membuat batasan mengenai bahasa sebagai berikut: ”Language is a purely human and non-instinctive method of communicatingideas, emotions and desires by means of a system of voluntarily produced symbol”. (Bahasa adalah suatu metode yang semata – mata digunakan oleh manusia dan tidak bersifat naluri yang digunakan mengkomunikasikan ide, perasaan dan keinginannya dengan menggunakan sistem lambang secara sukarela) (Dinneen, 1967 : 221);

            Dari batasan diatas, dapat diperoleh beberapa garis konsepsinya mengenai bahasa sebagai berikut:

  1. Makna bahasa itu dihubungkan dengan gambaran (image) visual, tingkat pemahaman, atau rasa hubungan;
  2. Kesesuaian antara tuturan dan makna merupakan suatu hubungan yang boleh tetapi tidak perlu selalu ada (Kelihatan). Jadi, gagasan atau ide merupakan isi darisuatu tuturan yang paling tinggi potensinya. Dengan demikian bentuk dan makna bahasa seharusnya mendapat perhatian dan kajian yang sebaik – baiknya.

1. Unsur unsur Tuturan

            Sapir menganggap bahwa bagian – bagian yang paling mendasar dari suatu bahasa ialah: radicals (radikal), unsur – unsur gramatikal, kata, dan kalimat.  Yang dia maksudkan dengan ”radicals” ada unsur unsur gramatikalmemfunyai kesejajaran makna dengan ”morfem”. Ia tidak menggunakan istilah ”parts of speech” atau fonem, melainkan istilah ”form” yang mengandung makna ”bunyi atau seperangkat bunyi – bunyi yang mengandung makna”.

            Pandangannya terhadap bentuk – bentuk linguistik terdiri atas tiga:

  1. Hubungan antara bentuk – bentuk linguistik (sama dengan morfem, kata, dan kalimat);
  2. Proses gramatikal (antara lain seperti afiksasi atau modifikasi);
  3. Konsep gramatikal.

            Selanjutnya ia berpendapatbahwa objek kajian linguistik adalah bunyi dan urutan – urutan bunyi yang memiliki fungsi – fungsi referensial atau diferensial (pembedaan). Disebabkan oleh hubungan bunyi dengan arti dan diskriminasi itulah sehingga urutan – urutan bunyi itu disebut linguistik.

            Dalam melakukan analisis untuk memperlihatkan adanya hubungan antara unsur – unsur bahasa, Sapir menggunakan rumus – rumus yang bersifat matematik, yaitu: huruf kapital (A), huruf kecil (a), tanda kurung ( ), tanda tambah (+), dan o. A = radikal; radikal terbagi dua, yaitu:

bentuk bebas dilambangkan dengan A (hamot = tulang);

bentuk terikat dilambangkan dengan (A) – (hortus – hort + us = kebun)

Kata yang bisa dapat imbuhan disimpulkan dengan (A), imbuhannya sendiri disimbulkan dengan (b). Jadi kata Inggris ”sing”, karena dapat dibentuk dengan – s, – ing, dan sebagainya. Maka dapat ditulis sebagai berikut: 

sing                  — A + (o)

singing             — A + (b)

sings                — A + (b)

singular            — (A) + (b)

line engine       A + B

Iapun berpendapat bahwa kata tidak dapat ditarik maknanya secara tersendiri. Sebaiknya kata itu dibentuk dalam radical dan unsur gramatikal. Dimana bentuk ini akan menghasilkan bentuk yang tidk terlalu berbeda pada setiap bahasa.

2. Bunyi Bahasa

            Sapir sangat tekun meneliti sistembunyi dari berbagai bahasa lalu membandingkannya atau membuat perbedaan – perbedaan dari padanya. Tetapi perhatian utamanya dihubungkan pada hubungan struktural dari bunyi – bunyi itu. Ia kurang mementingkan persamaan dan perbedaan fonetiknya. akan tetapi pola – pola dimana bunyi atau perbedaan bunyi – bunyi itu cocok.

3. Bentuk Bahasa

            Menurut Sapir, keberadaan bentuk bahasa dalam satu bahasa, merupakan suatu acuan sistem yang sempurna. Ia berpendapat ada dua pengertian yang patut diperhatikan dalam mempelajarai bentuk bahasa, yaitu:

  1. Konsep dasar yang diberikan oleh suatu bahasa
  2. Metode formal, dimana konsep dasr itu  dihubungkan dan dimodifikasi.

Dijelaskan bahwa tidak terdapat huungan dasar antara proses dengan arti, karena proses itu ada pada setiap bahasa, maksudnya proses itu ada kalau diusahakan. Contoh bantal – nyanyian . Kita tidak melihat hubungan yang bermakna antara kedua kata itu. Kalau dicoba diberikan, akhirnya akan menimbulkan arti yang berbeda – beda, dan itupun tentunya telah melalui proses tertentu, dengan kata lain tidak terdapat hubungan secara otomatis antara keduanya.

            Pandangan Sapir terhadap klasifikasi bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut:

Menurut Sapir bahasa dapat di klasifikasikan menurut tipe – tipe normalnya atau menurut jenis konsep – konsep yang khususnya digunakan di dalam berkomujnikasi, atau menurut keduanya.

            Dapat pula bahasa itu dapat diklasifikasikan dengan cara, mula – mula mengklasifikasikannya menurut kesamaan sifat –sifat yang mereka miliki, kemudian menurun kesifat – sifat yang lebih kecil.

4. Bahasa – Ras dan Kebudayaan.

            Sapir sebagai seorang Antropolog berusaha mengungkapkan hubungan antar ciri – ciri rasial si penutur dengan kebiasaan kebahasaan mereka, atau antara bahasa yang digunakan dengan corak kebudayaan yang diungkapkan oleh bahasa itu.

            Menurut Sapir, tidak mutlak ada hubungan antara bangsa dan bahasa, akan tetapi seringkali terdapat hubungan paralel antara bahasa dan kebudayaan (bahasa Inggris dengan bahasa Singapura). Oleh sebab itu bahasa sukar sekali dilepaskan dari kebudayaan, secara morfologi linguistik hubungan keduanya mutlak. Hal ini dapat dilihat pada tingkat vocabulary (kosa kata) bangsa Eskimo, yang jelas membutuhkan seperangkat ungkapan – ungkapan tertentu yang berhubungan dengan salju yang selalu mengelilinginya. Alih – alih bahasa Polinesia yang mungkin tidak pernah melihat salju.

            Dalam satu aspek kebudayaan , Sapir dan seorang muridnya yang sangat pintar yaitu Benyamin Whorf, berpendapat bahwa bahasa itu menentukan dan memainkan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kebudayaan manusia. Aspek pikiran dan cara berfikir manusia sangat dipengaruhi oleh bahasa mereka. Menurut Sapir dan Whorf, pengalaman manusia tidak mungkin tercipta tanpa bahasa, malahan keduanya berkata bahwa hakekat kandungan bahasa itu sama, yaitu ”The intuitive scienceof experience” (Ilmu pengetahuan pengalaman yang bersifat intuitive akan dibentuk dan dipolakan sesuai dengan bahasa penuturnya.

D.                Leonard Bloomfield (1887 – 1949)

            Sejak abad XIX di Amerika telah terlihat usaha – usaha melakukan studi kebahasaan secara ilmiah dan berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan secara ilmiah ialah dengan melalui pendekatan matematik. De Saussure  merupakan orang yang mula pertama merintis kemungkinan tersebut. Usahanya kemudian dilanjutkan oleh Sapiryang lebih melengkapi usaha De Saussure tersebut dengan penelitian – penelitiannya mengenai bunyi – bunyi tuturan yang sebenarnya yang sekaigus menghubungkan dengan maknanya. Leonard Bloomfield, sebagai ahli bahasa yang paling berkeinginan keras menjadikan studi linguistik sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, lebih melengkapi usaha pendahulu utamanya dalam hal penggunaan data empirik dalam penelitian – penelitian bahasa yang dilakukannya.

            Leonard Bloomfield adalah seorang ahli bahasa Amerika yang paling besar sumbangannya dalammenyebarluaskan prinsip – prinsip dan metode – metode yang biasa disebut ”Strukturalisme Amerika”. Pengaruhnya melalui tulisan – tulisan yang dihasilkannya melebihi dari ajaran – ajaran yang dilakukannya. Sesudah bukunya yang pertama Introduction to the study of linguage”  terbit pada tahun1914. Ia banyak menulis karangan – karangan, baik tentang linguistik umum maupun tentang bahasa – bahasa tertentu. Penelitiannya tentang bahasa – bahasa Indian Amerika sangat terkenal dan memberikan pengaruh yaqng besar. Ide – idenya disalurkan melaluitrulisan –tulisannya dalamsebuah jurnal mengenai masyarakat linguistik Amerika yang bernama ”language”. Melalui majalah itu pulalah ia berusaha menjelaskan pendiriannya terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan metode.

            Tahun 1933, terbitlah karya besarnya yang berjudul ”Language”. Judul buku itu sama dengan judul buku Sapir yang diterbitkan 12 tahun sebelumnya. Buku itu terdiri atas 600 halaman, merupakan karyanya yang besar, isinya padat, lengkap, sehingga sampai sekarang buku itu tetap tidak tersaingi. Bloomfield sangat dipengaruhi oleh ilmu jiwa (behaviorisme. Ia sangat mengagumi A.P. Werss. salah seorang pelopor ilmu jiwa behaviorisme, dan iapun terpengaruh olehnya. Akibat pengaruh yang merusak jiwanya itulah sehingga ia mengubah dasar fikiran yang dituangkan dalam bukunya yang pertama ”An Introduction to linguistic Science” (1914) dan menyesuaikannya dengan pandangan mekanistik penganut behaviorisme. Begitu terpengararuhnya pada pandangan behaviorisme sehingga di dalam esei – esei yang ditulisnya untuk ”International Encyclopedia of United Science”, ia menyatakan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh metode ilmiah yang dapat dibatas dengan merujuk ke acuan behaviorisme.

            Pandangannya tentang penggunaan bahasa (the use of language) dirumuskannya dengan rumus ”Rangsangan dan Tanggapan” , yang digambarkan dengan formula           R — t … r — T. Maksudnya: Suatu rangsangan praktis (R) menyebabkan seseorang berbicara alih – alih bereaksi secara praktis: ini merupakan pengganti bahasa – bahasa (t) bagi pendengar, hal itu merupakan pengganti bahasa (r) yang menyebabkan dia memberi tanggapan praktis (T). R dan T adalah ”peristiwa praktis” yang seakan – akan tinggal diluar bahasa ; t dan r adalah peristiwa – peristiwa bahasa (Samsuri, dalam Soejono, 1987 : 14)

            Teori makna Bloomfild, juga berdasarkan teori rangsangan dan tanggapan diatas. Dengan memperkenalkan bahasa berdasarkan rangsangan dan tanggapan diatas, ia telah membedakan peristiwa bahasa (t . . . r) dari peristiwa praktis (R.T), dan juga ia telah menyatakan bahwa ”tuturan bahasa” itu penting karena mengandung makna; dan makna itu sendiri terdiri atas hal – hal yang penting dimana tuturan bahasa itu dihubungkan, yaitu peristiwa praktis. Arti dari suatu bentuk bahasa (linguistic form) adalah situasi dimana si pembicara menyebutkannya dan tanggapan yang ditimbulkannya pada diri si pendengar. Menurut Bloomfield, kita hanya dapat menentukan arti dari suatu bentuk tuturan secara cermat apabila arti itu berhubungan dengan sesuatu yang dapat memberikan manfaat pengetahuan yang bersifat ilmiah. Kita dapat menentukan nama tumbuh – tumbuhan atau binatang dengan menggunakan istilah – istilah teknik botani atau kehewanan, akan tetapi kita tidak punya cara yang tepat untuk menyatakan rasa cinta atau benci – dan jenis terakhir inilah yang paling banyak (Francis P. Dinneen. 1967 : 247);

            Teori Bloomfield yang lebih utama tertuju pada usahanya mencoba menguraikan secara eksplisit metode – metode yang tepat untuk memerikan bentuk bahasa. Ia membedakan bentuk terikat (bound form) yang tak pernah digunakan secara berdiri sendiri dari bentuk bebas (free form). Dalam sebuah konstituen termuat satu bentuk yang kompleks, yaitu bentuk linguistik lainnya. Satu bentuk yang kompleks dinamakan bentuk yang sederhana atau morfem. Bentuk yang kompleks tidak dapat langsung dianalisis menjadi konstituen akhir (final Constituent) melainkan hanya dalam konstituen langsung (immediate constituent). makna sebuah morfem adalah sememe: kumpulan morfem suatu bahasa adalah merupakan leksikon bahasa itu. Tetapi leksikon itu sendiri tidak dapat menerangkan semua makna dari suatu bahasa karena masih ada ciri – ciri signifikan lainnya yang tidak termasuk dalam kumpulan itu. Makna sebagian ditentukan oleh tataan bentuk, sedangkan tataan bentuk yang bermakna dari suatu bahasa, itulah yang merupakan struktur bahasa itu.

            Ada 4 cara menurut Bloomfield untuk menyusun bentuk (form):

a.       Order (urutan). – Alim memukul Badu X Badu memukul Ali.

b.      Modulation (penggunaan fonem sekunder), — Jon X John ?

c.       Phonetic modification (modification fonetik), — do not X don’t

d.      Selection (memberikan satu faktor makna oleh karena bentuk yang berbeda memberikan makna yang berbeda pula).

Dengan demikian, dalam bentuk bahasa tercakup kelas – kelas dan bagian kelas. seperti kata kerja (verbs), kata benda (substantives), kata sifat (adjectives), dan sebagainya.

            Suatu ciri sederhana tatanan gramatikal merupakan ciri gramatikal atau taxeme, sedangkan texeme itu merupakan satuan bentuk yang terkecil. Texeme itu terjadi dalam susunan gramatikal yang konvensional yang dinamakan juga tactic form (bentuk taktik). Bentuk taktik beserta makna yang dikandungnya itulah yang dinamakan bentuk gramatikal (gramatical form). Bentuk gramatikal yang terkecil disebut juga tagmene.

            Bentuk Gramar dikelompokan menjadi tiga kelas, yaitu:

a.       Sentence type (tipe kalimat), — kaliamt berita, kalimat tanya, dan sebagainya.

b.      Construction (konstruksi). Konstruksi ini dinamakan Syntax kalau tidak terdapat bentuk terikat di antara konstituennya, contoh: John ran; Ita sleept. Dan dinamakan morfologi, apabila konstituennya terdiri dari bentuk terikat, seperti: – ess dalam bentuk duke + ess — ducess – lion + ess – lioness

c.       Substitution (subtitusi), apabila bentuk gramar itu merupekan suatu bentuk penggantian konvensional terhadap salah satu kelas dari bentuk lain, contoh: pronouns (kata ganti)

Simpulan

            Setelah Bloomfield dan kawan – kawannya bekerja keras melakukan penelitian – penelitian dan kejadian – kejadian yang mengarah ke perkembangan ilmu bahasa yang ditekuninya, beberapa hasil perkembangan dapat dikemukakan antara lain:

1.      Bloomfield dan kawan – kawannya telah berhasil memantapkan suatu sikap ilmiah terhadap ilmu bahasa ini seperti yang dicita – citakannya sejak mula pertama mereka berkecimpung dalam bidang ilmu yang ditekuninya.

2.      Keasyikan dengan fakta – fakta didalam setiap penelitian yang dilakukannya, telah menjadikan Bloomfield dan kawan – kawan ilmuwan sejati sejajar dengan ilmuwan – ilmuwan besar pada bidang di luar ilmu bahasa.

3.      Pada perkembangan linguistik sesudahnya, telah berkembang pula pemerian – pemerian bahasa dengan lebih pesat.

4.      Fonetik Bloomfield yang dulu banyak terbatas mengkaji kata – kata saja, telah lebih dikembangkan lagi oleh linguis – linguis sesudahnya menguji data yang lebih eksentif. Apa yang dinamakannya dulu ”secondary phonemes ”, telah menjadi lebih berkembang menjadi ”suprasegmental phonemes”.

5.      Para linguis sesudahnya telah menjadikan pemerian dan eksplanasi sebagai tujuan kajian mereka.

6.      Satu hal lagi yang juga telah memperlihatkan kemajuan yang lebih baik dibanding dengan konsep Bloomfield sendiri yaitu perhatian kepada meaning (arti) sebagai suatu bagian yang penting dari suatu teori linguistik.

 

 

           Daftar Pustaka

 

           Alwasilah A.Chaedar,1985. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik.

                   Bandung : Angkasa

           Bloomfield, Leonard,1933. Language, Holt, Rinheart and Winston. Inc,

            Chomsky, Noan, 1957. Syntatic Structures, Mouton and Co.

             Samsuri,1998. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta : Depdiknas

            Sapir, Edwart, 1921 Language An Introduction to the Sturdy of Speech,

                                Harcourt, Brace And World, Inc., USA