KETERBACAAN

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

KETERBACAAN

Oleh

Drs. Salimudin,M.Pd

Dosen PBSID UPS Tegal

Pendahuluan

Penyusunan materi ajar membaca seyogyanya dikaitkan dengan  fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa juga berfungsi sebagai  transaksional yang akan mengungkapkan isi, dan fungsi bahasa sebagai interaksional yang mengungkapkan hubungan sosial (Brown dan Yule 1996). Hal ini, sepadan dengan fungsi representatifekspresif Buhler (1934), referensial-emotif Jakobson (1960), ideosional-interpersonal Halliday (1970), dan deskriftif-sosio-ekpresif Lyons (1977). Menyusun materi ajar membaca menyangkut penggunaan bahasa secara tertulis.   

            Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yakni penggunaan kata dan kalimat. Bila kita kaitkan dengan usia pembaca, dua hal mendasar tersebut harus kita perhatikan. Hasil penelitian Sommerset (1990) pada sejumlah SD di seluruh Indonesia mengenai laju putus sekolah paling banyak terdapat pada kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI) dan yang tinggal di kelas berada pada rendah (kelas I, II dan III). Sommerset (1990) mencoba mengamsusikan tingginya pengulangan yang terjadi pada kelas rendah yang diikuti tingginya laju putus sekolah pada kelas tinggi ada kaitannya dengan kenyataan  bahwa sebagian besar siswa sekolah dasar pada kelas rendah itu harus belajar bahasa Indonesia. Kemudian laju tinggal di kelas dan putus sekolah itu terjadi pada awal tahun ajaran disebabkan oleh peralihan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Hal tersebut juga diamati oleh Van Klinken (1991) pada sejumlah sekolah dasar di Salatiga bahwa prosentasi siswa yang tinggal di kelas rendah hampir dua kali lebih tinggi dari pada angka-angka yang dicatat Sommerset (1990) disebabkan belum mampu untuk membaca dan menulis. Untuk itu, maka perlu adanya pembenahan pada materi ajar bahasa Indonesia khususnya materi ajar membaca di sekolah dasar. Hasil penelitian dan pengamatan tersebut di atas artinya, apakah kosakata tersebut sudah relevan dengan tingkat usia mereka dan apakah kalimat-kalimat yang disusun memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia mereka. Kata akan membangun kalimat, kalimat akan membangun paragraf, dan paragraf membangun karangan atau wacana.

            Pemahaman atas kata saja tidak mencukupi bagi seseorang dalam membaca karena kata-kata yang diwujudkan dalam tulisan tidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan. Hubungan itu ditandai oleh terbentuknya kalimat. Sekalipun sebuah kalimat sudah menyampaikan makna tertentu, kebanyakan kalimat dalam bahasa tulis masih harus dijelaskan oleh kalimat-kalimat lainnya,  kemudian membentuk sebuah paragraf. Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari satu paragraf (Rusyana 1984). Setiap paragraf membicarakan pokok paragraf. Antara pokok paragraf dengan yang lain terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf tersebut ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan bagian dari pokok yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan itu, yaitu isi karangan yang dibicarakan dalam semua paragraf pada karangan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, yakni penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan.

          Di samping itu, bila ditelusuri lebih lanjut, akan tampak pula bahwa bacaan yang satu dengan bacaan yang lainnya memiliki susunan yang berbeda. Menurut Rusyana (1984) terdapat bacaan atau karangan berjenis kisahan, deskripsi, percakapan, bahasan, dan alasan. Dalam bacaan kisahan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar. Dari segi keterjadiannya dalam ruang dan waktu, kisahan dibedakan atas yang faktual dan rekaan. Dalam bacaan terdapat lukisan tentang penginderaan, percontohan, dan penilaian terdapat suatu pokok. Dalam bacaan alasan terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenis-jenis karangan itu dalam penggunaannya tidaklah terpisah benar-benar sebab adakalanya digunakan sekaligus. Akan tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita ataukah bahasan, atau jenis lainnya. Bacaan dapat pula dibedakan dari susunan barisnya, lebih jauh dari susunan bunyi dan iramanya, menjadi prosa dan puisi.

          Menurut fungsinya materi ajar membaca dapat dibedakan atas materi ajar membaca yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan  materi ajar membaca yang digunakan untuk menyampaikan reka cipta (Rusyana 1984). Biasanya bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, alasan, deskripsi faktual, dan kisahan faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan dan kisahan rekaan dalam susunan puisi.

Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Dalam bacaan informasi, lebih-lebih yang berupa karangan keilmuan, bahasa digunakan secara informatif seperti tampak pada penggunaan kata yang referensial atau denotatif, yaitu merujuk langsung pada yang dimaksud, lebih-lebih yang berupa istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abstrak. Sedangkan pada bacaan rekaan, lebih-lebih dalam sastra yang berupa puisi. Kata-kata digunakan untuk ekspresi, bersifat konotatif sehingga mengandung arti rangkap.Sehubungan dengan bacaan di sekolah dasar, materi ajar membaca dapat dibedakan ke dalam bacaan bahasa yang berisi pelajaran, dan bacaan lainnya yang berupa bacaan kisahan, drama, dan puisi.

          Untuk itu, materi ajar harus mendapat perhatian, mengingat fungsinya sangat strategis dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasar berkenaan dengan materi ajar membaca, yakni (1) komponen kebahasaan, (2) komponen komposisi karangan, dan (3) komponen keterbacaan.

    

A.Komponen Kebahasaan                                                                                                                                                                              

          Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi  dengan bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia khususnya membaca diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Dengan bahasa tulis memungkinkan seseorang memisah-misahkan kata dengan jelas, memanipulasika urutannya dan mengembangkan penalaran (Goody 1977 dalam Brown dan Yuke 1996).  Berkomunikasi adalah berwacana, baik secara lisan maupun secara tertulis, yaitu menyampaikan pokok gagasan yang dijabarkan dengan satuan bahasa berdasarkan konteks tertentu. Menurut Rustono (1998) wacana adalah satuan kebahasan yang unsurnya terlengkap yang tersusun dari kalimat atau kalimat-kalimat baik lisan maupun tulis, yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun manifestasi fonetisnya.  Berwacana dalam arti menyampaikan gagasan bersifat produktif, sedangkan berwacana dalam arti memahami  gagasan bersifat reseptif (Ekowardono 2006). Salah satu berwacana yang bersifat reseptif adalah membaca.

            Penyusunan materi ajar membaca akan berkaitan dengan pemakaian bahasa secara tertulis. Paling tidak ada hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yaitu penggunaan kata dan kalimat. Apabila dihubungkan dengan dengan tingkat usia pembaca, dua hal tersebut harus diperhatikan, artinya apakah kosakata dalam materi ajar membaca tersebut sudah relevan dengan tingkat usia peserta didik serta kalimat yang digunakan mempunyai tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.

1. Kosakata

          Kosakata dalam pembelajaran berwacana reseptif yaitu membaca berfungsi membantu pemahaman, sedangkan dalam pembelajaran berwacana produktif dalam menulis berfungsi membantu memproduksi wacana (Ekowardono 2006). Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun menjadi kalimat, sedangkan kalimat-kalimat sebagai wujud satuan-satuan gagasan disusun menjadi wacana. Kosakata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang  atau suatu bahasa (Kridalaksanan 1993).  Lado (1964) membagi kosakata menjadi kosakata mudah, kosakata sedang, dan kosakata sulit. Kosakata yang mudah dipahami adalah kosakata  yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama. Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara tekstual Kosakata sulit adalah kosakata bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa itu,baik bentuk maupun artinya.

           Menurut Suparno dan Yunus (2006) mengklasifikasikan kosakata menjadi dua yaitu kosakata aktif dan kosakata pasif. Kosakata aktif adalah kosakata untuk penguasaan bahasa secara produktif yang digunakan untuk menghasilkan bahasa  dalam kegiatan berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Sedangkan kosakata pasif adalah kosakata yang hanya dipahami tetapi belum digunakan secara produktif. Kosakata juga dapat dibagi menjadi kosakata khusus dan kosakata umum. Kosakata umum artinya kosakata yang yang bukan merupakan istilah-istilah teknis atau yang sering dijumpai dalam berbagai bidang keilmuaan atau kata yang sudah meluas ruang lingkup pemakaianya. Kosakata khusus adalah kosakata tertentu yang sempit, dan terbatas ruang lingkupnya. Setiap bahasa memiliki kosakata dasar yang tidak mudah berubah, atau sedikit sekali kemungkinannya diambil dari bahasa lain.

           Tarigan (1993) menyatakan yang termasuk kosakata dasar adalah (1) istilah kekerabatan, (2) nama-nama bagian tubuh, (3) kata ganti, (4) kata bilangan pokok, (5) kata kerja pokok, (6) kata keadaan pokok, (7) kata-kata benda universal.  Lado (1964) membagi kosakata menjadi kosakata mudah, kosakata sedang, dan kosakata sulit. Kosakata yang mudah dipahami adalah kosakata  yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama.Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara tekstual. Kosakata sulit adalah kosakata  bahasa kedua  yang berbeda dengan bahsa itu, baik bentuk maupun artinya. Kosakata yang pertama  kali diperoleh anak adalah kosa kata dengar. Menurut Zuhdi (1997) kebanyakan anak dapat menanggapi secara benar kata-kata yang diucapkan  oleh orang lain, sebelum mereka menggunakan kata-kata tersebut untuk berbicara. Sedangkan kosakata baca baru diperoleh anak manakala mereka mandapat pengkondisian.  

          Hasil penelitian Dale dan Chall (1984) mengenai kosakata anak-anak kota menunjukkan bahwa tiga perempat dari mereka telah memiliki kurang lebih lebih 1500 kata pada pertengahan tahun pertama memasuki sekolah (kelas I) Kemudian Dale dan Chall mencatat bahwa kata-kata  yang diketahui oleh anak-anak kelas I adalah (1) kosakata yang menyatakan rasa, (2) kosakata yang digunakan sehari-hari, (3) kosakata yang muncul hampir pada kalimat, dan (4) kosakata yang yang menyebut sesuatu hal yang dialami dan dihayati anak. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas  dapat dikemukakan bahwa pemilihan kosakata memiliki peranan  yang amat strategis dalam menyusun materi ajar membaca. Karena sebuah kata akan mendukung terbentuknya kalimat efektif apabila kata itu memiliki kesanggupan untuk mewadahi gagasan itu dengan tepat dan memiliki kesanggupan untuk menimbulkan kembali gagasan itu dengan tepat.

          Dalam kaitan itu, Keraf (1983) menyatakan bahwa pemilihan dan pendayagunaan kata mengacu pada kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembaca. Kesanggupan sebagaimana terurai di atas dapat dipenuhi dengan dua kaidah penggunaan kata, yaitu kaidah ketepatan dan kaidah kecocokkan. Kaidah ketepatan diukur dari gagasan yang akan disampaikan dapat diterima partisipan. Kaidah kecocokkan diukur dari kesesuaian kata dalam konteks penggunaan sesuai dengan kelaziman penggunaan kata, baik konteks kalimat maupun konteks luar kalimat.

 

2.Kalimat

            Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun menjadi kalimat, sedangkan kalimat-kalimat sebagai wujud satuan-satuan gagasan disusun menjadi wacana. Masalah yang berhubungan dengan pengaruh struktur kalimat terhadap proses membaca ada dalam bidang yang sangat khusus, yakni keterbacaan (Harjasujana 1997). Berbicara tentang keterbacaan, setiap penyusun wacana atau buku bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, harus mendasarkan diri pada orientasi teoritis, yakni masalah struktur kalimat. Di samping itu, juga masalah kosakata, seperti dikemukakan oleh Rusyana (1984). Hal yang sama dikemukakan oleh Sakri (1993) bahwa keterbacaan (readability) bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tidak umum lebih sulit dipahami daripada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya, khususnya pembaca dengan usia tertentu. Tentang hal ini telah dijelaskan pada penjelasan tentang kosakata baca. Demikian pula, bangun kalimat yang panjang dan kompleks akan menyulitkan pembaca yang tingkat perkembangan usianya berbeda.

            Uraian di atas mengimplikasikan bahwa penyusunan wacana, sekalipun menurut pengarang sudah sesuai dengan perkembangan usia anak, namun tanpa mengetahui penguasaan kosakata dan kalimat yang digunakan dalam suatu wacana yang dikenal mereka, maka wacana tersebut akan gagal dalam hal keterbacaannya. Pengukuran terhadap penguasaan kosakata dan kalimat dalam bacaan wacana oleh anak amat penting dilakukan sebagai dasar penyusunan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi anak-anak sesuai dengan perkembangan usianya. Hal ini disebabkan oleh bahwa membaca berarti memahami isi (deep structure) bacaan. Sarana pemahaman tersebut adalah struktur luar (surface structure).

           Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa panjang kalimat sebagai unsur utama yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam kegiatan membaca (Harjasujana 1997). Oleh karenanya, sudah sejak tahun 1921, panjang kalimat sebagai alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, dan hampir selalu dijadikan unsur utama dalam formula-formula keterbacaan. Kalimat-kalimat yang kompleks pada umumnya panjang-panjang. Korelasi antara kompleksitas dan panjang kalimat cukup tinggi, yakni sebesar 0,775 (Harjasujana 1997).

           Hingga kini belum ada penelitian tentang panjang kalimat yang cocok untuk anak usia sekolah dasar di Indonesia. Walau demikian, penelitian tentang ini sebenarnya sudah dilakukan Rudolf Flesch (1975) bagi pentutur bahasa Inggris. hasilnya berupa skala. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan yang dibuat Rudolf Flesch (1974) dalah sebagai berikut:

         Tabel   1  Keterbacaan menurut Rudolf Flesch

Tingkat Kesulitan

Panjang kalimat

Sangat mudah

8     kata

Mudah

11   kata

Sedang

14   kata

Standar

17   kata

Agak sulit

21   kata

Sulit

25   kata

Sulit sekali

29   kata

          

             Wacana yang panjang kalimatnya terdiri dari 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4 sekolah dasar, wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8 s.d. 11 kata sesuai untuk siswa kelas 5 sekolah dasar, wacana yang panjang kalimatnya terdiri dari  11 s.d.14 kata diperkirakan sesuai untuk siswa kelas 6 sekolah dasar. wacana yang panjang kalimatnya  antara 14 s.d 17 kata sesuai untuk siswa kelas 7 dan 8 SMP, dan wacana yang panjang kalimatnya antara 17 s.d 21 kata sesuai untuk siswa SMA kemudian wacana yang panjang kalimatnya antara 24 s.d. 29 kata cocok untuk siswa SMA dan mahasiswa. Sementara itu, penelitian terhadap penutur berbahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wahjawidodo (1985) dengan subjeknya siswa SD. Penelitiannya menunjukan bahwa kalimat yang maknanya mudah dipahami murid ialah kalimat yang terdiri atas paling tidak 10 kata untuk kelas 2, 15 kata untuk kelas 4, dan 20 kata untuk kelas 6, dengan catatan kata-kata yang digunakan harus yang mudah.

            Skala antara yang dikemukakan Flesch dan Wahjawidodo (1985) Tampak berbeda.  Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4, wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5, wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6, sedangkan dalam skala Wahjawidodo, siswa kelas 4 panjangnya paling tidak 10 kata, lebih panjang dari skala Flesch yang hanya 8 kata; siswa kelas 6 paling banyak 20 kata, lebih panjang dari skala Flesch yang hanya 11-14 kata. Sementara itu, untuk siswa SMP kelas 1 dan 2 dalam skala Flesch panjang kalimatnya antara 14 -17 kata.

          Menurut susunan kalimatnya, kalimat tunggal lebih mudah dipahami maknanya atau maksudnya daripada kalimat majemuk. Hal ini disebabkan kalimat majemuk lebih rumit daripada kalimat tunggal.

B.Komponen Komposisi Karangan

          Kata-kata dengan intonasi tertentu disusun akan menjadi sebuah kalimat.  Kalimat yang pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali kekalimat pertama dan seterusnya (Alwi, Dardjowidjojo, dan Moeliono 2000). Beberapa kalimat yang mengandung ide gagasan dalam konteks tertentu akan membangun sebuah  paragraf atau wacana dasar, dan beberapa paragraf dengan konteks tertentu akan membangun sebuah karangan atau wacana luas. Dengan pemahaman kata saja tidak cukup karena kata-kata yang diwujudkan dalam tulisan tidak terdiri sendiri, melainkan saling berhubungan. Hubungan itu ditandai dengan ditandai oleh terbentuknya kalimat sekalipun sebuah kalimat sudah menyampaikan maksud tertentu, kebanyakan kalimat dalam bahasa tulis masih dijelaskan oleh kalimat-kalimat lainnya, yang kemudian membentuk sebuah paragraf.                                                                                                             

               Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari satu paragraf (Rusyana 1984). Setiap paragraf membicarakan  pokok paragraf. Antara pokok paragraf yang satu dengan yang lainnya  terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf itu ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan  bagian yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan, yaitu isi karangan yang dibicarakan  dalam semua paragraf pada karangan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut  dapat ditarik kesimpulan  bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan.

               Apabila dianalisis lebih lanjut akan terlihat pula bahwa bacaan satu dengan bacaan  yang  lain memiliki susunan yang berlainan. Keraf (1984) terdapat bacaan atau karangan yang berjenis narasi, deskrpisi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi. Bacaan narasi atau paparan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar kemudian dari segi kejadiannya dalam ruang dan waktu, narasi dibedakan menjadi bacaan yang faktual dan bacaan rekaan. Bacaan deskripsi terdapat lukisan tentang penginderaan, pikiran, dan perasaan, dan khayalan. Deskripsi pun dapat dibedakan  menjadi yang faktual dan rekaan. Menurut Suparno (2006) bacaan eksposisi adalah paparan yang dilengkapi dengan data-data kesaksian seperti grafik, gambar, dan statistik dengan tujuan untuk memperjelas masalah yang akan diinformasikan. Bacaan persuasi akan berurusan dengan masalah mempengaruhi orang lain lewat bahasa, sehingga kalimat-kalimat yang digunakan mengandung daya bujuk, daya ajak, ataupun daya himbau. Bacaan argumentasi  terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenis-jenis karangan tersebut dalam penggunaannya tidaklah terpisah-pisah sebab adakalanya digunakan secara sekaligus.Tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita atau bahasan. Bacaan juga dapat dibedakan dari susunan barisnya, susunan bunyi dan iramanya, yang dinamakan prosa dan puisi.

             Menurut fungsinya bacaan dapat dibedakan atas bacaan yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan bacaan yang digunakan  untuk menyampaian reka cipta. Bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, argumentasi, deskripsi faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan,dan kisahan rekaan dalam susunan puisi.Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam menggunakan bahasa. Dalam bacaan informasi yang berupa karangan keilmuan, bahasa yang digunkan secara informatif menggunakan kata-kata yang referensial atau denotatif. Yaitu dengan merujuk langsung pada yang dimaksud, terutama dalam penggunaan istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abtraks. Sedangkan pada bacaan rekaan lebih-lebih dalam bidang kesusastraan yang berupa puisi, kata-kata yang digunakan  untuk mengungkapkan ekspresi diri bersifat konotatif sehingga mengandung makna yang ganda.

            Bacaan yang ada di sekolah dasar, dapat digolongkan ke dalam bahasan yang berisi pelajaran, khususnya buku pelajaran dan bacaan lainnya yang berupa bacaan narasi, depkrisi, eksposisi, persuasi dan argumentasi. Untuk itu, dalam menyusun materi ajar membaca harus memperhatikan komposisi karangan  mengingat fungsi materi ajar sangat strategis dalam proses pembelajaran untuk menentukan ketercapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.

 

D. Komponen Keterbacaan

              Keterbacaan merupakan pengukuran tingkat kesulitan  sebuah  bacaan atau wacana secara obyektif. Menurut Harjasujana (1988) tingkat keterbacaan itu biasanya dinyatakan dengan peringkat kelas. Dengan demikian, setelah mengukur tingkat kesulitan sebuah bacaan atau wacana maka dapat ditentukan tentang kesesuaian materi bacaan untuk peringkat tertentu, misal peringkat enam, peringkat lima, peringkat empat dan seterusnya. Tingkat bacaan materi bacaan harus disesuaiakan dengan tingkat kemampuan pembaca. Dengan jalan mencocokkan tingkat keterbacaan dengan tingkat kemampuan sehingga pembaca tidak mengalami frustasi dan minat bacanya akan berkembang terus. Berdasarkan penelitian terakhir menurut Harjasujana (1988) ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat keterbacaan wacana (1) kata-kata yang sukar dan banyak sukunya, dan (2) panjang kalimat-kalimat yang ada pada wacana tersebut. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-katanya, semakin sulit bahan bacaannya. Sebaliknya, jika kalimat-kalimat dan kata-kata dalam sebuah wacana pendek-pendek, maka wacana itu tergolong pada wacana yang mudah.         

         Dalam penyunanan materi ajar membaca penyusun dapat menurunkan dan dapat menambahkan tingkat keterbacaan wacana bacaan jika terlalu tinggi atau terlalu rendah tingkat keterbacaannya. Dengan demikian pemahaman pembaca akan meningkat dan kepercayaan terhadap dirinya pun akan menjadi lebih baik sehingga minat bacanya akan meningkat dan bertambah. Tingkat keterbacaan materi bacaan harus menjadi perhatian utama dalam menyususn materi ajar. Sebab pembaca diharapkan dapat menyerap informasi dan memahami materi bacaan yang selanjutnya dapat mengembangkan keterampilan-kerampilan baru setelah selesai membacac sebuah bacaan atau wacana.                     

           Dale dan Chall dalam Gilliland (1976) mengemukakan keterbacaan adalah sejumlah unsur yang ada dalam teks yang berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai oleh kelompok pembaca. Keberhasilan ini meliputi keluasan materi yang dapat dipahami, membaca dengan kecepatan optimal, dan terasa tertarik dengan teks tersebut.  Definisi  Dale dan Chall ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh McLauughin dalam Gilliliand (1976) yang lebih menekankan pada keterbacaan pada karakteristik pembaca dan kemenarikan teks. Artinya, keterbacaan harus didasarkan pada karakteristik pembaca berdasarkan asumsi bahwa pembaca akan melanjutkan membaca jika ia paham dan tertarik tentang hal yang dibacanya. Berdasarkan pendapat tersebut Gilliand (1972) kemudian merumuskan keterbacaan sebagai pencocokan kemampuan pemahaman sesorang terhadap materi wacana tulisan yang dibacanya pada tingkat tertentu (Gilliand, 1972, Mc Neill, et al 1980).

          Gilliliand (1972) juga membuat simpulan bahwa ada tiga ide utama yang terkait dengan keterbacaan yaitu (1) kemudahan, (b) kemenarikan, (c) keterpahaman. Yang pertama berkaitan dengan tata tulis yaitu menggunaan huruf seperti besar huruf dan lebar spasi. Dari batasan ini keterbacaan dapat diukur dari kecepatan dalam mengenal kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, yang kesemuanya sangat berhubungan erat dengan keterampilan membaca dan kejelasan ukuran. Kedua berkaitan dengan minat baca, kepadatan ide pada isi bacaan, dan keindahan gaya tulisan pada bacaan. Ketiga sangat berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjangnya kata dan panjangnya kalimat, dan susunan paragraf  dalam bacaan. Dengan alasan teoretis, teknis, dan praktis batasan ketiga ini yang menjadi  dasar dalam penelitian ini.  Wacana dikategorikan mudah apabila mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi (Depdikbud 1985). Artinya, wacana tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh sebagian besar pembaca. Wacana itu disebut sulit, jika mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. Artinya, wacana tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian kecil pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dale, E dan J.S. Chall. “A Formula for Predicting Readability” dalam www.timetabler.com.

Ekowardoyo, Karno. B. 2008. Pedoman Penyusunan Buku Ajar Bahasa Jawa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peran Bahasa Indonesia Dalam Pencerdasan Anak Bangsa. UNNES.Semarang

Flesch, R. 1975. The Art Readability Writing. New York: Harper & Row.

Fry, E. B. 1977. Fry’s Readibility Graph: Clarification, Validity, and Extention to Level 17. Journal of Reading. Newmark, Del: International Reading Association.

Edward. 1978. Teaching Faster Reading. Cambridge: CUP.

Gilliland, J. 1976. Readabbility, London : Horder and Stoughton

Harjasujana, A.S. 1997. Tata Bahasa Dalam Membaca: Pengaruh Panjang Kalimat dan Kekomplekan Kalimat terhadap Kecepatan Efektif Membaca. Makalah. Disajikan pada Temu Ilmiah Ilmu-ilmu Sastra PPs Unpad di Hotel Panghegar, 22 Desembar 1997.

Keraf, Gorys. 1989, Komposisi, Flores: Nusa Indah

Pengembangan BahanAjar.http://www.docstoc.com/does/6390817/Pengembangan Materi Ajar.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Pengajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah Dasar. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia di Semarang.

Rusyana, Y, 1984. Meningkatkan Minat dan Menanamkan Kebiasaan Baca Tulis pada Anak-anak, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan pendidikan. Bandung: Dipenogoro.

Rustono. 1998. Implikatur Percakapan Sebagai Penunjang Pengungkapan Humor Di Dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia. Disertasi, Universitas Indonesia.

Sakri, A. 1993. Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: ITB Bandung.

Suparno.,Mohamad Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tinggalkan komentar