PPENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN PADA KURIKULUM 2013

v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}

Normal
0
false

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN

PADA  KURIKULUM 2013

 

Pembelajaran pendekatan ilmiah (scientific approach, saintifik) diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persensetelah lima belas menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen. Proses pembelajaran harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran.

 

Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.

1.   Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.

   2.   Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.

   3.  Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.

   4.   Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran.

   5.   Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.

          6.     Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.

       7.   Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

    Langkah-Langkah Pembelajaran Dengan Pendekatan Ilmiah

 Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan  menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalahpeningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik(soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

saintifik

 

Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.  Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi  tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.

 

       1.    Mengamati

Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.

       2.   Menanya

Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.

Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!

       3.   Menalar

Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.  Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.

       4.    Mencoba

Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.

       5.   Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif

Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.

 

TEORI STRUKTURALISME DALAM SASTRA

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”,”serif”;}

TEORI STRUKTURALISME DALAM SASTRA

 

Oleh

Salimudin

 

 

1. Pendahuluan

Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik, strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi.

 

2.Pengertian Strukturalisme

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme  antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi.

Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme.

Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema, 1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa

 

Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori adalah alat, kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain.

Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

 

A.   Prinsip-prinsip Antarhubungan

Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya.

Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta sosial, buka totalitas benda. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilai-nilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177),  variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antar hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi, melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realitas sosial. Karya tidak dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.

Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori poststrukturalisme, baik sebagai negasi maupun afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubungan dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik, misalnya, salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frekuensi pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca.

Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setiap orang mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalam ruang maupun waktu. Perubahan status perana disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi pembaca, yang mengubah crita sehingga menyerupai kehidupan, dalam bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya antarhubungan merupakan indikator penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.

Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan interistik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan, sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar antarhubungan yang kedua.

Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer menghantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai kehidupan secara keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola, sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut Poloma (1987: 23-26), asal usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte dengan konsep masyarakat sebagai struktur dan fungsi, masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain. Konsep Durkheim kemudian dilanjutkan juga oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.

 

B.   Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.

Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.

Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.

Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant (1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia. Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan penegrtian, di pihak yang lain juga menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7) menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma Schleiermacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melaui hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sama, yaitu teks. Struktur tes yang berlapis-lapis  dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna dari hermeneutika. Dalam bidang antropologi budaya yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas dan integrasi sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem, dalam struktur sosial. Paradigma baru dari ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang lahir di Swis (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul Cours de linguistque generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme, menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, makna hanya dapat dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya yang sangat pesat, bahkan juga sesudah menjadi poststrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri tersendiri, yang dipelopori oleh Clude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J Greimas, Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya. Melalui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke disiplin lain, seperti Antropologi (Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derida (filsafat).

Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dengan kaitanya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karaya satra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, olehkarena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed, 1993: 53). Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikanteks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Oleh karena itulah, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern.

Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa model-model pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (Cekoslovakia), melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik formalisme Praha ini, maka formalisme pada umumnya dianggap sudah  menjadi strukturalisme,. Oleh karena situsi politik yang terus berlanjut, yaitu sebagai campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940-an meninggalkan Cekoslovakia dan pergi ke Amerika, yang sekaligus melairkan mazhab Kritik Baru.

Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berfikir liannya, tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya.

Konsep struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern sesudah melalui perkembangan formalisme di atas. Melalui perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun demikian, persamaan pokok yang ditunjukan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk totalitas, kaitan secara fungsional  antara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam.

Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) paroie (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan kesejarahannya). Saussure (Gertz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem (langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkannilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althusser), psikoanalisis (Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genete).

Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intristik antara bahasa  sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi, isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri.

Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis, oleh karena itu fabula disebut juga konstituten plot. Sjuzet mengorganisasikan keseluruhan kejadian kedalam struktur penceritaan. Dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi yang defamiliarisasi. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi (pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif, defamiliarisasi biasanya diperoleh mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan kejadian. Otomatisasi mirip dengan reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-107) dan ada sesejajaran denga estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses pengasingan secara terus-menerus.

Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara megeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mngarahkan pada paradigma baru, karya tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perngkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya sebagaiimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme. Formalisme memiliki dampak atas strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian Todorov, Roland Barthes, dan Gerarld Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow, termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij.

Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsep-konsep yang relevan dalam analisis novel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya keseluruhan unsur fikis dimanifestasikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah terlihat untuk pertama kali.

 

C.   Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraanya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Perubahan paradigma yang sangat mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas pada karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalime Praha (1930-an), Kritik baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an).

Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek, 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai iperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmu yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang etimologi, sebagai sistem tertentu denga mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu pulalah, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti itu merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme , khususnya dalam dekonstruksi.

Seperti dijelaskan diatas, secara definitif srtukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus revolusi. Perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Saussure dalam menjelaskan bahasa, di mana bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem, sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jaques Lacan, J. Greimas, dan Jean Piaget. Sebagaian dari mereka memasuki era baru dalam teori postsrukturalis.

Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah, melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih banyak bergerak sebagai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai perkembangan kemudia dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167), asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim. Sejajar dengan penjelasannya mengenai hakikat suatu masyarakat, totalitas yang tediri atas kesadaran kolektif, maka pikiran pun terdiri atas cetakan-cetakan yang memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengan isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di baliknya. Berbeda dengan paradigma sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat dibentuk oleh individu, sebaliknya, menurut Durkheim, justru individulah yang dibentuk masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, naka dalam strukturalisme, unsur memiliki arti hanya  dalam totalitasnya.

Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scheles, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988: 53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addesse, context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, reverential, poetic, phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannyadengan pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. buku tersebut merupakan perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.(1) Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religius),(2)Aspek Intristik

Elemen-elemen cipta sastra (a)insiden, (b)plot, (c) karakterisasi,(d)teknik cerita,(e) komposisi cerita, dan (f) gaya bahasa

 

D.   Teori Semiotika

Secara definitif, menurut Paul Cobley (2002) Semiotika berasal dari kata seme,bahasa Yunani yang artinya penafsir tanda.Literatur lain semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang luas sebagai teori semeotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interprestasi tanda, bagaimana cara kerjanya,apa manfaatnya  terhadapa kehidupan manusia . Kehidupan manusi dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efesien,dengan perantaran tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi  degan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours d Linguistique Generale, yang terbit tahun 1916 dianggap sebagai asal-muasal teori strukturalisme sekaligus sebagai teori bahasa,yaitu linguistik sebagai bagian integral teori komunikasi dan keseluruhan  hubungan sosial.Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda,sebagai diadik, maka konsep Peirce bersisi tiga sebagai triadik.Diadik Saussure ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal,sedangkan triadik ditandai oleh dinamisme internal..Dilihat dari cara kerjanya , maka terdapat (a) semiotika sintaksis yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain.(b)semantik semiotika,studi yang memberikan perhatian  hubungan tanda dengan acuannya , dan (c) pragmatik semiotika, yaitu studi yang memberikan perhatian antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan tanda, maka tanda dibedakan menjadi (1) representamen,ground tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum qualisigns (terbentuk oleh kualitas),sinsigns (terbentuk melalui realitas fisik),dan (c) legisigns types (berupa hukum). (2) object( designatum,denotatum,referent) yaitu apa yang diacu: ikon hubungan antara tanda dengan obyek karena serupa,indeks hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, simbol adalah hubungan tanda dengan obyek karena kesepakatan, (3) interpretan yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima seperti : rheme tanda sebagai kemungkinan (konsep),dicisigns,dicent signs tanda sebagai fakta(pernyataan deskripsi), argument tanda tampak sebagai nalar(proposisi). Diantara representament,obyect, dan interpretant yang paling banyak diulas adalah obyect.   

 

3. Impilikasi Strukturalisme dalam Pembelajaran Sastra

Dalam strukturalisme bahwa sastra merupakan suatu konstruk yang dapat dianalisis dan bukannya produk inspirasi yang keramat. Strukturalisme membuat sebuah mekanisme sastra yang aksesibel bagi semuanya, termasuk bagi para siswa. Konvensi literer atau kode dapat dibuat eksplisit dan dapat dipikirkan. Semua siswa sudah dapat menginternalisasikan banyak kode dan oleh tanda itu, mereka memiliki kompetensi literer yang potensial. Akan tetapi, yang mereka miliki sering tidak dimanfaatkan karena mereka tidak tahu bahwa mereka memilikinya, atau tidak tahu cara menggunakanya. Sebab sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk membantunya agar mereka menyadari hal itu. Di samping itu, kita juga bertanggung jawab untuk mengajari mereka sesuatu yang lain, sehingga mereka dapat mengendalikan dan menggunakanya guna mencapai tujuan-tujuan mereka dalam membaca dan menulis.

Pengajaran kita seharusnyabertujuan memberikan kepada siswa suatu penguasaan keterampilan dan konvensi-konvensi membaca dan menulis, dan bukanya mengajarkan eksplisikasi  teks khusus secara autoritatif. Penyususn cerita dan puisi sendiri, membuat siswa lebih sadar bahwa puisi dan cerita orang lain merupakan konstruk,produk pilihan dan mekanisme linguistik yang dimanipulasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penulisnya.

Dalam strukturalisme bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan melalui refleksi bahasa, melainkan dihasilkan oleh bahasa, strukturalisme  menghancurkan mitos mengenai  teks sastra kaum realis-ekspresif, yaqitu mitos bahawa teks sastra merupakan jendela kebenaran.Walaupun demikian,penolakan terhadap realitas dan intensi-intensi manusia di luar bahasa merupakan sesuatu yang bersifat reduktif dan over-deterministic.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Hartoko.Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, PT.Gramedia: Jakarta

2. Kutha.R.Nyoman ,2004, Teori dan Metode, dan Praktik Penelitian Sastra

                   .Pustaka Pelajar : Jogjakarta.

3. Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Satra, Teori pengantar Sastra .Pustaka

                    Jaya : Jakarta

4. Wellek,Rene,dan Austin Warren. 1992.Theory of Leterature, A Harvest

                    Book Harcourt,Barce & Word,Inc: New York

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ANATOMI PELAPORAN SEBUAH PTK /PTS

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

                                                   ANATOMI PELAPORAN PTK/PTS       

 

SISTEMATIKA  LAPORAN HASIL PTS

 

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL (KALAU ADA)

DAFTAR GAMBAR (KALAU ADA)

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang

B.                  Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah

C.                  Tujuan

D.                  Manfaat

E.                   Hipotesis Tindakan (bila diperlukan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.    Kajian Teoretik

B.     Hasil penelitian yang Relevan

C.     Kerangka Pikir

BAB III METODE PENELITIAN TINDAKAN

A.    Desaian penelitian Tindakan

B.     Subyek dan obyek Penelitian

C.     Lokasi dan Waktu Penelitian

D.    Prosedur

1.     Siklus I

a.     Perencanaan

b.     Peleksanaan

c.     Observasi

d.     Refleksi

 

2.     Siklus  II

a.     Perencanaan

b.     Peleksanaan

c.     Observasi

d.     Refleksi

 BAB IV  HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    HASIL

B.     PEMBAHASAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN

B.     SARAN